Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Layangan Putus, Kok Orang Percaya Cerita yang Belum Tentu Benar?

Kompas.com - 05/11/2019, 06:00 WIB
Rosiana Haryanti,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beberapa hari ini, media sosial diramaikan dengan adanya kisah yang dijuluki Layangan Putus.

Cerita tersebut mengisahkan tentang kondisi pasangan suami istri yang terpaksa berpisah karena adanya orang ketiga.

Kisah Layangan Putus tersebut menuai simpati dari warganet. Segera setelah mendapatkan atensi, netizen ramai-ramai membagikan cerita tersebut.

Bahkan viralnya kisah ini membuat banyak orang memercayai kisahnya hingga mencari tahu sosok laki-laki dan perempuan yang dituduh menjadi orang ketiga dalam hubungan tersebut.

Kejadian ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa banyak warganet yang terbawa emosi dengan kisah tersebut.

Padahal seperti diketahui, cerita itu belum diketahui kebenarannya. Menurut penelitian, banyak orang memiliki setidaknya pernah memercayai beberapa hal yang salah.

Baca juga: Kisah Layangan Putus dan Perdebatan Pelakor, Bukti Masyarakat Masih Bias Gender

Lantas mengapa orang mudah memercayai hal tersebut?

Melansir laman Psychology Today, salah satu penyebabnya adalah manusia secara rutin menggunakan jalan pintas mental untuk bisa memahami hal-hal yang terjadi di sekitar mereka.

Ini terjadi karena, manusia tidak memiliki waktu untuk menganalisis kebenaran kabar yang diterima dengan cermat.

Dengan demikian, manusia cenderung menggunakan aturan praktis yang cepat dan tidak disadari untuk menentukan apa yang harus dipercaya.

Sehingga, hal ini mengarahkan mereka untuk memercayai kabar yang belum diketahui kebenarannya. Adapun beberapa penyebab dari jalan pintas mental tersebut adalah:

Ketersediaan heuristik

Sebelum mengulas lebih lanjut tentang ketersediaan heuristik, Anda bisa menjawab pertanyaan ini.

Pekerjaan mana yang lebih berbahaya, polisi atau nelayan? Mayoritas orang akan menjawab jika polisi mungkin menjadi pekerjaan dengan risiko yang lebih besar dibanding nelayan.

Namun, menurut US Bureau of Labour Statistic, ternyata nelayan rentan terbunuh.

Dibanding dengan profesi polisi, nelayan memiliki risiko 10 kali lebih besar dibanding dengan profesi penegak hukum tersebut. Tentu saja, hal ini tidak bisa menjadi patokan jika pekerjaan polisi memiliki risiko yang kecil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com