Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Prostitusi PA, Bukti Penegak Hukum Indonesia Masih Bias Gender?

Kompas.com - 27/10/2019, 18:00 WIB
Rosiana Haryanti,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan kabar terbongkarnya praktik prostitusi di Kota Batu yang diduga melibatkan figur publik berinisial PA.

Menurut informasi yang didapatkan, seorang pelaku merupakan pemesan sedangkan orang lainnya merupakan penyedia layanan.

Sesaat setelah berita ini tersebar, masyarakat kembali bertanya-tanya siapa figur publik yang dimaksud. Bahkan masyarakat mulai menebak dari satu figur ke figur lain.

Kasus ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, figur publik yang sering malang melintang di layar kaca juga terjerat kasus serupa.

Polisi akhirnya menetapkan figur publik bernisial VA tersebut sebagai tersangka karena diduga mengeksploitasi dirinya sendiri dengan menyebar gambar dan video vulgar kepada mucikari.

Baca juga: Kasus PA, Hukum, dan Perlindungan Perempuan dalam Lingkar Prostitusi

Hukum Indonesia masih bias gender

"Saya kira ini kasus kesekian kali yang mengkriminalisasi perempuan yang dilacurkan," ucap ucap Direktur LSM Rifka Annisa, Harti Muchlas menjawab Kompas.com, Minggu (27/10/2019).

Harti mengungkapkan, hukum di Indonesia memang masih bias gender, sehingga dalam kasus yang melibatkan perempuan sebagai pelaku prostitusi, mereka sering ditersangkakan.

Sebaliknya, laki-laki atau mereka yang menggunakan jasa tersebut hampir selalu bisa lepas dari jerat hukum.

Harti menilai, sebaiknya kasus seperti ini dipandang sebagai sebuah eksploitasi komersial seksual.

Pekerja seks korban eksploitasi

Pihak berwajib, menurut Harti, bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUTPPO).

Undang-undang ini, sebut Harti, lebih condong melihat para pekerja seks sebagai korban eksploitasi.

Menurutnya, jika menggunakan UU tersebut, aparat penegak hukum bisa menjerat pihak-pihak yang secara sengaja memperdagangkan perempuan.

Meski demikian, Harti menilai tak hanya hukum, para penegak hukum di Indonesia juga masih bias gender.

"Kalau pakai UUPTPPO ya lebih condong ke melihat adanya eksploitasi. Cuma masalahnya perspektif aparat penegak hukumnya dalam melihat kasus prostitusi itu bagaimana? Dalam banyak kasus kan enggak dipakai UUTPPO-nya," tutur dia.

Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat Indonesia yang masih patriarki, yang masih menempatkan perempuan sebagai penjaga moral.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com