Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dinamika Politik Akhir-akhir Ini, Catatan "Putar Balik" Demokrasi...

Kompas.com - 14/10/2019, 18:32 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Wijayanto, menilai, politik Indonesia saat ini bergerak sangat cepat.

Jika ada yang beranggapan demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, ia berpandangan, yang terjadi adalah "putar balik".

Apa maksudnya?

“Kalau hari-hari kemarin sudah muncul pandangan dari beberapa pengamat tentang democratic backsliding, kemunduran demokrasi, democratic regression. Nah saya ingin mengungkapkan ini bukan mundur lagi, tapi putar balik, karena cepat. Mau ngebut sepertinya," kata Wijayanto, yang juga Direktur Centre for Media and Democracy LP3ES, saat dihubungi Kompas.comSenin (14/10/2019) pagi.

Hal itu disampaikan Wijayanto menanggapi manuver yang dilakukan para politisi, seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh, pasca-pemilu.

Baca juga: Pertemuan Surya Paloh-Prabowo Subianto dan Irama Koalisi Jokowi...

Ia menyoroti proses politik di parlemen yang juga berlangsung cepat dan seakan abai terhadap aspirasi publik.

Contohnya, revisi UU KPK yang diselesaikan dalam waktu sekitar 11 hari, tidak digubrisnya aspirasi rakyat dan akademisi, manuver oposisi terhadap koalisi pemerintah, dan rencana amandemen UUD 1945.

“Kita tahu, revisi UU KPK itu mendapat tentangan yang begitu luas dari publik di berbagai daerah di Indonesia. Ada lebih dari 3.000 dosen dari 30 sekian universitas terbaik di Indonesia yang menolaknya. Itu tidak didengar,” kata Wijayanto.

“Revisi UU KPK itu kan baru awal mengembalikan demokrasi kita ke masa lalu. Jadi menurut saya ini adalah putar balik, U turn dari demokrasi kita,” ujar dia.

Selain itu, Wijayanto juga menyoroti dominasi kursi kekuasaan yang diisi oleh kalangan kaya dan berasal dari dinasti politik tertentu.

Baca juga: Demokrasi Indonesia dan Komunikasi yang Tersumbat

“Mereka yang terpilih adalah orang-orang yang memang kaya, yang punya jaringan, yang semakin menegaskan tidak bekerjanya prosedur demokrasi untuk menyeleksi orang-orang yang memang punya rekam jejak di masyarakat,” kata Wijayanto.

Hal ini, menurut dia, menunjukkan penyelenggaraan pemilihan umum langsung sebagai parameter sebuah negara demokrasi tidak berjalan dengan efektif.

Fenomena ini terlihat dari sosok-sosok yang muncul dari hasil pemilu itu bukan berasal dari kapasitas dan rekam jejaknya di masyarakat, melainkan karena politik uang dan dinasti.

Merapatnya kelompok oposisi ke barisan koalisi juga dianggap Wijayanto menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya fungsi kontrol yang seharusnya ada dalam sebuah negara demokratis.

“Ketika tidak ada lagi kekuatan penyeimbang dari segi gagasan maupun dari segi posisi, sama-sama dalam kekuasaan nantinya, maka itu kabar buruk bagi demokrasi kita,” papar Wijayanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Menanti Tol Solo-Yogyakarta, Penghubung Dua Kota Mataram, Dukung Perekonomian Lokal

Menanti Tol Solo-Yogyakarta, Penghubung Dua Kota Mataram, Dukung Perekonomian Lokal

Tren
Jadwal Puasa Ayyamul Bidh April 2024 dan Keutamaannya

Jadwal Puasa Ayyamul Bidh April 2024 dan Keutamaannya

Tren
Penelitian Mengungkap Anggapan Masyarakat Mesir Kuno tentang Galaksi Bima Sakti

Penelitian Mengungkap Anggapan Masyarakat Mesir Kuno tentang Galaksi Bima Sakti

Tren
Manfaat Kelapa Bakar, Apa Bedanya dengan Diminum Langsung?

Manfaat Kelapa Bakar, Apa Bedanya dengan Diminum Langsung?

Tren
Catat, Ini 10 Ponsel Pintar dengan Radiasi Tertinggi

Catat, Ini 10 Ponsel Pintar dengan Radiasi Tertinggi

Tren
Pedagang Taoge di Garut Disebut Jadi Tersangka Usai Membela Diri dan Lawan Preman, Ini Faktanya

Pedagang Taoge di Garut Disebut Jadi Tersangka Usai Membela Diri dan Lawan Preman, Ini Faktanya

Tren
Daftar 60 Universitas Terbaik di Indonesia Versi SIR 2024, Ada Kampusmu?

Daftar 60 Universitas Terbaik di Indonesia Versi SIR 2024, Ada Kampusmu?

Tren
Remaja Siksa Anjing hingga Mati di Jember, Polisi: Masih dalam Proses Penyelidikan

Remaja Siksa Anjing hingga Mati di Jember, Polisi: Masih dalam Proses Penyelidikan

Tren
Daftar Ikan yang Boleh Dimakan Penderita Asam Urat dan Kolesterol, Apa Saja?

Daftar Ikan yang Boleh Dimakan Penderita Asam Urat dan Kolesterol, Apa Saja?

Tren
Gunung Vesuvius yang Lenyapkan Kota Kuno Pompeii Berpotensi Meletus Lagi, Kapan Terjadi?

Gunung Vesuvius yang Lenyapkan Kota Kuno Pompeii Berpotensi Meletus Lagi, Kapan Terjadi?

Tren
Pemimpin Dunia Minta Israel Tak Balas Serangan Iran, Ini Alasannya

Pemimpin Dunia Minta Israel Tak Balas Serangan Iran, Ini Alasannya

Tren
Mengenal 'Holiday Paradox', Saat Waktu Liburan Terasa Lebih Singkat

Mengenal "Holiday Paradox", Saat Waktu Liburan Terasa Lebih Singkat

Tren
Mengenal Amicus Curiae, Dokumen yang Diserahkan Megawati ke MK Terkait Sengketa Pilpres 2024

Mengenal Amicus Curiae, Dokumen yang Diserahkan Megawati ke MK Terkait Sengketa Pilpres 2024

Tren
Bagaimana Cara Kerja Suara dari Sumber Bunyi Mencapai Telinga Anda?

Bagaimana Cara Kerja Suara dari Sumber Bunyi Mencapai Telinga Anda?

Tren
3 Skenario Serangan Balasan Israel ke Iran, Salah Satunya Incar Fasilitas Nuklir

3 Skenario Serangan Balasan Israel ke Iran, Salah Satunya Incar Fasilitas Nuklir

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com