Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buka-bukaan soal Buzzer (2): Seluk Beluk Memanipulasi Trending Twitter dan Percakapan di Facebook

Kompas.com - 09/10/2019, 08:10 WIB
Nibras Nada Nailufar,
Heru Margianto

Tim Redaksi

Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Sebelum membaca, silakan baca dulu tulisan pertama.
_____________________________

KOMPAS.com - Jika Anda mengikuti pembicaraan di media sosial, para warganet belakangan ini ramai membicarakan soal buzzer. Gegara-nya adalah laporan majalah Tempo yang menyoal soal buzzer istana.

Sebenarnya, apa itu buzzer? Ada juga istilah influencer. Apa itu?

Bagaimana keduanya berperan memengaruhi opini publik di era digital dan media sosial saat ini?

Pengamat media sosial Enda Nasution menjelaskan buzzer adalah akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.

"Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," ujar Enda seperti pernah dimuat Kompas.com, Jumat (4/9/2019).

Baca juga: Mengenal Buzzer, Influencer, Dampak dan Fenomenanya di Indonesia

"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.

Sedangkan akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas, ia menyebutnya dengan influencer.

"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.

Enda Nasution.KOMPAS/ WISNU AJI DEWABRATA Enda Nasution.

Menurutnya, dengan begitu akun tersebut tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu, karena bila salah atau terdapat orang yang tidak suka, dapat menimbulkan risiko terhadap pemilik akun tersebut.

"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik. Kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.

Keduanya digunakan sebagai bagian dari strategi marketing komersial maupun politik. Buzzer dan influencer berperan dalam memengaruhi opini publik dalam bersikap terhadap topik tertentu.

Di bidang komersial, ujung pembentukan opini adalah keputusan konsumen untuk membeli produk tertentu.

Di bidang politik, pembentukan opini berujung pada pilihan juga dukungan atas calon atau isu tertentu.

Mencari influencer dan buzzer

Di era kampanye digital, jasa influencer dan buzzer dijalankan secara profesional.

Awkarin misalnya, punya A Team yang mengurus kerja sama dan bisnisnya. Begitu pula Atta Halilintar dengan AHHA Management-nya.

Para influencer ini biasanya ada di database agensi komunikasi atau periklanan. Tinggal dipilih dan dikontak mana yang sesuai untuk kampanye brand klien mereka.

Sama seperti influencer, buzzer yang biasanya tak membuka identitas mereka, juga bisa dikontak untuk mempromosikan produk atau opini tertentu.

Bahkan, ada platform seperti sociabuzz.com dan buzzohero.com yang bisa menghubungkan brand langsung dengan para buzzer atau influencer.

KOMPAS.com/Dhawam Pambudi Infografik: Mengenal Apa itu Buzzer

Di sana, tersedia rate card atau tarif jasa mereka serta statistik akun sosial media mereka. Mulai dari jumlah follower hingga engagement rate.

Di luar jalur-jalur terbuka ini, kampanye juga bisa dijalankan dengan memanfaatkan pasar gelap media sosial.

Jasa jual beli follower misalnya, menawarkan harga mulai dari Rp. 20.000 untuk 100 follower yang diklaim aktif.

Untuk akun pasif, harganya bisa lebih murah lagi. Banyak toko online berskala kecil memakai jasa ini untuk membuat bisnis mereka terlihat kredibel dengan banyak follower.

Trending topic

Platform media sosial sebenarnya sudah menyediakan fasilitas berbayar untuk bisnis. Di Facebook dan Instagram, untuk mendongkrak postingan, bisa dimulai dengan Rp 10.000 per hari.

Sementara di Twitter, trending topic bisa dipesan dengan mudah. Lewat jalur resmi, layanan yang tersedia di Twitter, Anda bisa membayar promosi mulai dari Rp 710.000 agar dibaca 13.000 orang, hingga Rp 71.000.000 untuk muncul di linimasa 671.000 orang.

Agensi periklanan biasanya menggunakan cara ini atau memilih opsi lebih murah dan efektif, yakni memanfaatkan buzzer atau influencer.

Influencer dengan 500.000 followers yang kebanyakan anak muda misalnya, mematok tarif Rp 1.000.000 sampai Rp 3.000.000 per kicauannya.

Yang lebih murah dari itu, menggunakan jasa pembuatan trending topic yang tersedia di internet.

Trending Topic Indonesia (TTI) misalnya, memasang harga Rp 200.000 per jam untuk mempertahankan trending topic.

Ada juga yang mematok harga Rp 20.000 untuk 500 akun. Jika satu trending topic setidaknya butuh 4.000 tweet dari akun yang berbeda, maka biaya yang dikeluarkan cukup Rp 160.000.

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

Cukup menghubungi nomor yang tersedia di internet dan menyepakati harga, Anda bisa langsung mendapat trending topic yang diinginkan. Bayarnya bisa belakangan setelah trending benar terjadi.

Kampanye lewat jalur resmi atau lewat influencer ini biasanya lebih efektif sampai ke khalayak yang jadi target mereka. Pesannya pun terasa lebih asli dibanding memanfaatkan pasar gelap.

Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Rinaldi Camil mengatakan saat ini bot masih digunakan. Namun fungsinya hanya untuk meningkatkan frekuensi kicauan, membantu mencapai trending topic dan meningkatkan awareness.

Bot merujuk pada program aplikasi yang berjalan secara otomatis. Jadi, bot adalah mesin atau robot. Dalam konteks ini, percakapan yang dilakukan bot bukanlah percakapan natural warganet. 

Namun, percakapan yang direkayasa dengan bot dapat memicu percakapan natural warganet.

Bot dapat digunakan untuk mendukung tagar dan percakapan para influencer. Sebab influencer biasanya punya pengikut yang lebih sedikit dan tersegmentasi. Sementara buzzer punya lebih banyak pengikut dan mampu mendengungkan percakapan lebih luas.

"Para influencer yang mampu membuat engagement," kata Rinaldi.

 

Bersambung...
Buka-bukaan soal Buzzer (3): Akun-akun Palsu yang Menggiring Opini Publik

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com