Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Adrianus Eryan
Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law

Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law

Keterkaitan Karhutla dan Korupsi serta Komitmen Pemerintah dalam Mengatasinya

Kompas.com - 07/10/2019, 06:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

FENOMENA kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menimbulkan kabut asap hampir setiap tahun di Indonesia tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus.

Kepala BNPB Doni Monardo menyatakan bahwa karhutla 99 persen ditimbulkan oleh faktor manusia, sedangkan 1 persen sisanya oleh faktor alam.

Pendapat tersebut diamini oleh ahli kebakaran hutan IPB, Prof Bambang Hero Saharjo, yang turut menyatakan kebakaran yang terjadi secara alami di alam memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pembakaran yang dilakukan manusia.

Klaim tersebut dapat dijelaskan melalui teori segitiga api. Menurut teori ini agar api dapat terbentuk, diperlukan reaksi kimia yang melibatkan (1) oksigen, (2) bahan bakar, dan (3) percikan api dengan panas yang tinggi.

Di alam, oksigen dan bahan bakar seperti kayu dan gambut tersedia melimpah. Tetapi sumber percikan api sulit muncul secara alami. Di sinilah faktor manusia berperan.

Baca juga: Terobosan Baru, Peneliti Kembangkan Gel Pencegah Kebakaran Hutan

Kecil kemungkinan percikan api muncul secara alami. Patut dicurigai bahwa memang ada yang melakukan pembakaran, dengan berbagai motif dan tujuan tentunya. Salah satunya pembukaan lahan untuk perkebunan.

Kabut asap dan gambut di Sumatera dan Kalimantan

Jika kebakaran terjadi pada pepohonan di permukaan tanah (surface fire), maka asapnya akan berwarna putih dan apinya cenderung mudah dipadamkan.

Namun, jika kebakaran terjadi pada lahan gambut, maka asapnya akan berwarna kuning. Semakin tebal lapisan gambut yang terbakar di bawah tanah (ground fire), maka akan semakin sulit pula usaha untuk memadamkannya.

Gambut memiliki sifat asli berongga (porous), agak lunak, basah, dan bisa menyimpan air berkali-kali lipat dari volumenya. Tetapi sekalinya kering, maka sifatnya akan berubah menjadi hidrophobic dan mudah sekali terbakar.

Selain itu gambut juga memiliki sifat sangat asam, sehingga tidak cocok untuk pertanian. Namun, konon pembakaran dapat membuat gambut menjadi lebih subur karena abu yang dihasilkan dapat menurunkan sifat asamnya.

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki berbagai regulasi yang melarang pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun, pengawasannya masih dipertanyakan, karena karhutla tetap saja terjadi.

Menjadi masuk akal apabila Sumatera dan Kalimantan sering disambangi kabut asap. Keduanya memiliki lahan gambut yang sangat luas. Perkebuna sawit pun marak ditemui di kedua pulau ini.

Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi karhutla?

Sejak tahun 2012 pemerintah sudah sekuat tenaga melakukan penegakan hukum dengan menggugat perusahaan yang lahannya terbakar. Tapi sampai sekarang belum ada satu pun perusahaan yang membayar. Alhasil putusan pengadilan pun tidak dapat dieksekusi.

Ganti rugi yang dimenangkan pemerintah untuk litigasi karhutla sejak 2012 hingga sekarang mencapai angka Rp 2.72 triliun. Tapi angka sebesar itu pun bahkan belum memperhitungkan kerugian akibat kabut asap.

Litigasi pidana juga masih menyasar pelaku lapangan, yang berdasarkan penyidikan, seringkali hanyalah orang-orang suruhan yang “ditumbalkan” oleh korporasi.

Pidana kepada korporasi pun masih jauh panggang dari api. Padahal pedoman penanganan perkaran pidana untuk korporasi telah diterbitkan Kejaksaan dan Mahkamah Agung, melalui PERJA 28/2014 dan PERMA 13/2016.

Patut kita nantikan ketegasan dan keberanian pemerintah untuk menindak korporasi nakal.

Bagaimana komitmen pemerintah dalam mengatasi karhutla?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com