Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Membangun Papua Sepenuh Hati

Kompas.com - 04/10/2019, 15:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TIDAK sedikit perantau di Papua yang ingin segera kembali ke daerah asalnya. Bagi yang mampu pulang sendiri, dikabarkan sudah lama berangkat kembali ke daerahnya, atau ke tempat lain.

Namun sebagaimana banyak diberitakan, yang tak mampu kembali jumlahnya juga tak sedikit. Bahkan perantau asal Sumatera Barat, sampai 1.000 orang perantau yang berusaha mendesak pemerintah daerah asalnya untuk memulangkan mereka segera.

Dari fenomena ini, setidaknya dapat kita membayangkan seperti apa kenangan buruk yang melekat di benak mereka sehingga memutuskan untuk segera hengkang dari tanah Papua.

Kerusuhan, yang hari ini menurut pemerintah pusat, sudah kelar dan mereda, nyatanya masih menyisakan ketakutan bagi sebagian orang di sana.

Oleh karena itu, pemerintah mau tak mau harus segera membereskan karut-marut di Papua. Jangan hanya dengan menuduh pihak lain, negara lain, atau aktor tak tersentuh nan jauh di sana, sebagai dalangnya.

Beberapa pendekatan lama harus dievaluasi, kebijakan-kebijakan basa-basi alias simbolik harus segera dijadikan substantif, agar Papau tak terus-menerus berada di ambang batas emosional nan sensitif.

Kerusuhan yang katanya berawal dari perundungan mahasiswa Papua di Jawa Timur, harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah bahwa urusan Papua masih jauh dari kata selesai.

Divestasi Freeport yang sangat digembar-gemborkan, infrastruktur yang katanya sangat masif dibangun di Papua, sampai pada kebijaksanaan para pemimpin yang bersedia untuk merayakan hari besar ini itu di Papua terbukti tak berarti apa-apa.

Semestinya pemerintah maklum bahwa sejarah panjang Papua yang tak biasa, memerlukan sentuhan yang sangat komprehensif-substantif, yang tidak selesai dengan cara-cara mudah seperti pembesaran fiskal, pembangunan fisik, atau basa-basi kelas teri. Sentuhannya harus berbeda.

Rakyat Papua yang sering tersakiti, tak bisa dengan cara biasa untuk mengobati rasa sakit tersebut. Apalagi dengan cara-cara lama, berbasa-basi damai di atas tikar, tapi di bawah tikar kondisi tak sama sekali berubah, bibit-bibit kemarahan tak jua dipupuk menjadi kegembiraan.

Kita tentu mahfum, bahwa sedari awal, sejarah Papua memang tak mulus. Penentuan status Papua Barat antara Indonesia dan Belanda sudah menjadi problema sejak lama, tepatnya setelah putusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, dan terus berlarut-larut bahkan hingga terjadi pergantian rezim di tanah air.

Ketika Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Sukarno dan menjabat sebagai Presiden RI ke-2 sejak 12 Maret 1967, ia langsung dihadapkan dengan persoalan ekonomi Indonesia yang merosot. Tak seperti Bung Karno yang cenderung antimodal asing, Pak Harto lebih pragmatis.

Berkebalikan dengan sang proklamator, Soeharto justru memandang modal asing adalah jalan keluar untuk mengurai carut-marutnya perekonomian Indonesia kala itu. Salah satu peluang yang paling terbuka adalah Papua yang sudah dilirik oleh Freeport.

Sehingga, saat masih menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera atau sebelum resmi menjadi presiden, Soeharto sudah menerbitkan Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967.

Salah satu kebijakan awal Soeharto yang berdampak panjang, termasuk menyangkut nasib rakyat Papua, adalah kontrak karya kepada Freeport.

Soeharto meneken kontrak karya pada 7 April 1967. Untuk mengamankan investasi itu, Soeharto harus menjamin Papua tetap menjadi bagian Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah RI harus mengamankan suara warga Papua melalui Pepera. Sesuai klausul Perjanjian New York yang diawasi oleh PBB, Pepera harus digelar pada 1969. Opsi Pepera cukup pelik: tetap ikut Indonesia atau merdeka.

Soeharto kemudian mengutus Letjen Ali Moertopo mengamankan suara rakyat Papua. Ali sudah sejak 1964 ditunjuk sebagai Komandan Operasi Khusus (Opsus) untuk Irian Barat.

Ali Moertopo ikut membantu Roeslan Abdulgani, Duta Besar RI untuk PBB kala itu, dalam mengawal masalah-masalah Irian Barat.

Ali Moertopo adalah penasihat pribadi Soeharto selama tahun 1966-1974 dan terlibat banyak operasi rahasia, termasuk Pepera di Irian Jaya (Papua) pada 1969.

Untuk menarik hati rakyat Papua, Ali Moertopo menggunakan langkah persuasif. Salah satunya dengan mengirimkan sejumlah besar pasokan barang kebutuhan pokok dan hadiah-hadiah menarik untuk kepala-kepala suku dan masyarakat tanah Papua.

Setelah melalui banyak kajian dan pertimbangan, pemerintah Indonesia memutuskan bahwa Pepera akan dilaksanakan dengan sistem musyawarah, bukan voting (pemungutan suara) alias one man one vote sebagaimana yang diamanatkan oleh PBB. Kala itu, Indonesia menganggap one man one vote tidak cocok untuk Papua.

Orang Papua dianggap masih terbelakang, belum siap buat referendum, Indonesia ingin pakai sistem musyawarah. Atas keputusan itu, pendekatan persuasif yang sebelumnya diterapkan pun bisa sekaligus dibarengi dengan tekanan.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Pintu Kayu di Film Titanic Dilelang dan Laku Rp 11 Miliar, Apa Spesialnya?

Pintu Kayu di Film Titanic Dilelang dan Laku Rp 11 Miliar, Apa Spesialnya?

Tren
Capai Rp 271 Triliun, Berikut Rincian Penghitungan Kasus Korupsi Timah di Bangka Belitung

Capai Rp 271 Triliun, Berikut Rincian Penghitungan Kasus Korupsi Timah di Bangka Belitung

Tren
Beredar Kabar Dugaan Calo Tiket Mudik dari Pejabat KAI, Ini Kata KAI

Beredar Kabar Dugaan Calo Tiket Mudik dari Pejabat KAI, Ini Kata KAI

Tren
10 Negara Terkuat di Dunia 2024, Amerika Serikat Masih Kokoh di Puncak

10 Negara Terkuat di Dunia 2024, Amerika Serikat Masih Kokoh di Puncak

Tren
The Simpsons Disebut Sudah Memprediksi Runtuhnya Jembatan Baltimore, Bagaimana Faktanya?

The Simpsons Disebut Sudah Memprediksi Runtuhnya Jembatan Baltimore, Bagaimana Faktanya?

Tren
Hindari Minum Kopi Sebelum Naik Pesawat, Ini 3 Alasannya

Hindari Minum Kopi Sebelum Naik Pesawat, Ini 3 Alasannya

Tren
7 Daftar Pelanggaran Etik yang Terbukti Dilakukan Anwar Usman

7 Daftar Pelanggaran Etik yang Terbukti Dilakukan Anwar Usman

Tren
9 Cara untuk Menyampaikan Rasa Cinta Kepada Kucing Peliharaan

9 Cara untuk Menyampaikan Rasa Cinta Kepada Kucing Peliharaan

Tren
Jangan Sampai Salah, Ini Perbedaan Penyakit Gagal Ginjal dan Batu Ginjal

Jangan Sampai Salah, Ini Perbedaan Penyakit Gagal Ginjal dan Batu Ginjal

Tren
Resmi, Indonesia-Singapura Berlakukan Perjanjian Ekstradisi Buronan

Resmi, Indonesia-Singapura Berlakukan Perjanjian Ekstradisi Buronan

Tren
RUU DKJ Resmi Disahkan Jadi UU, Jakarta Sudah Tak Lagi Jadi Ibu Kota?

RUU DKJ Resmi Disahkan Jadi UU, Jakarta Sudah Tak Lagi Jadi Ibu Kota?

Tren
Resmi, Masa Jabatan Kepala Desa Maksimal 8 Tahun, Berlaku Mulai Kapan?

Resmi, Masa Jabatan Kepala Desa Maksimal 8 Tahun, Berlaku Mulai Kapan?

Tren
Pemerintah Resmi Tidak Naikkan Tarif Listrik April-Juni 2024, Ini Alasannya

Pemerintah Resmi Tidak Naikkan Tarif Listrik April-Juni 2024, Ini Alasannya

Tren
7 Poin Penting dalam UU DKJ, Salah Satunya Mengatur soal Pemilihan Gubernur dan Wakilnya

7 Poin Penting dalam UU DKJ, Salah Satunya Mengatur soal Pemilihan Gubernur dan Wakilnya

Tren
Polisi Tangkap Sopir Grab yang Diduga Culik dan Peras Penumpang Rp 100 Juta di Jakarta Barat

Polisi Tangkap Sopir Grab yang Diduga Culik dan Peras Penumpang Rp 100 Juta di Jakarta Barat

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com