Namun sayangnya, itikad baik pemerintah dimanfaatkan oleh konglomerasi rokok global. Dengan celah aturan tersebut, mereka bisa membayar cukai rokok buatan mesinnya dengan tarif murah.
Bahkan, tarif cukai yang dimanfaatkan konglomerasi rokok global tersebut setara dengan tarif cukai rokok kretek tangan, yang menyerap banyak tenaga kerja dan merupakan warisan budaya Indonesia.
Berdasarkan data Indonesia Budget Center, celah dalam aturan cukai rokok ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara sebesar Rp 6,25 triliun pada tahun 2019.
Jumlah ini diperkirakan naik hingga mencapai Rp 15,65 triliun pada tahun 2020.
Ketiga, perusahaan rokok besar sangat cerdik. Dalam aturan saat ini, besaran tarif cukai yang wajib dibayar ditentukan oleh jumlah produksi rokoknya dalam satu tahun.
Semakin besar jumlah produksinya, maka semakin tinggi tarif cukai yang harus dibayar.
Jika produksi rokok mesin perusahaan telah mencapai 3 miliar batang atau lebih dan produksi rokok buatan tangan telah mencapai 2 miliar batang atau lebih, perusahaan tersebut wajib membayar tarif cukai paling mahal.
Jumlah produksi dihitung dari akumulasi dalam satu perusahaan, ataupun perusahaan lain yang terkait maupun berada dalam satu grup dengan perusahaan tersebut.
Namun, kenyataan di lapangan, banyak sekali perusahaan besar yang mendirikan perusahaan kecil mandiri, yang seolah-olah tidak terkait atau tidak terafiliasi dengan perusahaan besar tersebut.
Padahal, jika seluruh jumlah produksi diakumulasikan, bisa dipastikan mereka harus membayar tarif cukai tertinggi untuk semua rokok yang diproduksinya.
Perusahaan-perusahaan ini sering disebut sebagai "anak perusahaan" atau "perusahaan dengan hubungan keterkaitan" dan dapat memperoleh manfaat dari tarif cukai yang sangat rendah.
Hal ini bisa terjadi karena Kementerian Keuangan tidak dapat menjalankan aturan cukai secara optimal mengenai hubungan keterkaitan dengan perusahaan rokok besar.
Secara historis, ketika pemerintah mengejar kenaikan cukai yang tinggi, perusahaan "kecil" semacam ini muncul dan mulai menjual rokok murah seakan-akan diproduksi perusahaan rokok kecil.
Ini adalah cara perusahaan rokok besar untuk menghindari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi.
Keempat, sistem cukai rokok di Indonesia terlalu kompleks. Sistem ini memiliki sepuluh layer dengan sepuluh tarif cukai yang berbeda, serta sepuluh harga jual eceran minimum yang juga berbeda