Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Efek Karhutla Makin Meluas, Ini Pesan Aktivis Lingkungan Asal Perancis

Kompas.com - 20/09/2019, 12:30 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Terakhir, kebakaran hutan menyebabkan kondisi udara di lima kota dan kabupaten dinyatakan berbahaya.

Akibatnya asap dari peristiwa itu sampai ke beberapa negara tetangga, seperti Brunei, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Sri Langka. Hal itu sebagaimana diberitakan Kompas.com (14/9/2019).

Laporan terbaru dari Kompas.com, Kamis (19/9.2019) mengatakan, para korban asap yang mengungsi di posko kesehatan area Pekanbaru sudah sesak napas dan batuk pilek akibat kualitas udara yang sangat tidak sehat hingga berbahaya.

Lalu, bayi berusia 8 bulan bernama Yoselin asal Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, menderita batuk dan muntah akibat kabut asap Riau.

Efek karhutla yang semakin tak terkendali ini pun mengunggah hati seorang aktivis lingkungan asal Perancis, Chanee Kalaweit.

Lewat sebuah video yang diunggah di akun Yotube, Chanee, begitu ia biasa disapa, menyampaikan pendapatnya mengenai cara menanggulangi karhutla.

Dalam video tersebut Chanee mengungkapkan kesedihannya terhadap bencana karhutla yang sangat berdampak besar bagi masyarakat Indonesia.

Baca juga: Soal Karhutla, Pemerintah Diminta Evaluasi Perizinan Sawit

Kalimantan Tengah

Chanee merasa sedih dan frustasi karena peristiwa ini persis seperti tragedi karhutla di tahun 2015, di mana dampak karhutla membuatnya harus melihat sang buah hati menderita sakit batuk.

"Yang paling membuat saya sedih dan frustasi adalah situasi yang kita alami di tahun 2019 ini tidak bisa diantisipasi," ujar dia.

Saat dihubungi Kompas.com, Kamis (19/9/2019), Chanee bercerita jika dirinya kini tinggal di Kalimantan tengah, tepatnya di Kabupaten Barito Utara.

Meski jauh dari titik api, Chanee mengatakan dampak asap juga dirasakannya di Kalimantan tengah.

"Jarak pandang disini sekitar 154 meter dengan asap yang tebal tetapi semua ini merupakan asap kiriman dari daerah Palangkaraya atau Sampit karena wilayah saya tinggal hampir tidak ada gambut," ucapnya.

Kiriman asap tersebut, menurut pengakuan Chanee, telah menganggu aktivitas warga sekitar dan mengakibatkan berbagai penyakit, terutama saluran pernapasan.

"Kiriman asap ini jelas menganggu aktivitas warga. Banyak yang sesak nafas, rumah tidak bisa dibuka, anak-anak tidak boleh keluar rumah. Sangat menganggu. Kita jadi susah nafas," ucapnya.

Chanee juga mengatakan, bencana karhutla tak hanya menganggu warga setempat tetapi juga satwa-satwa yang tinggal di hutan.

"Sama seperti manusia, satwa-satwa ini juga berada di ujung tombak seperti manusia yang juga terkena dampak dari karhutla ini," ucapnya.

Menurutnya, jumlah satwa yang terkena dampak karhutla ini jumlahnya lebih besar daripada yang diberitakan media.

"Yang banyak diberitakan media kan hanya orang hutan. Padahal, banyak satwa-satwa liar yang kehilangan habitatnya dan mati terbakar karena karhutla ini," tambanhnya.

Baca juga: Soal Karhutla, antara Kelalaian dan Petaka Kabut Asap

Penanganan karhutla

Chanee juga menyayangkan tidak adanya pihak yang membahas larangan api di lahan gambut.

Menurutnya, negara-negara di dunia yang memiliki masalah serupa memberlakukan larangan api di wilayah yang rentan kebakaran.

"Di negara lain barbeku pun enggak boleh kalau area tersebut rentan kebakaran, tetapi di Indonesia tidak ada pihak yang membahas hal itu," ujar Dia.

Untuk mengatasi terjadinya karhutla, Chanee menyarankan agar ada pemetaan lahan gambut dan memberlakukan larangan penggunaan api di lahan gambut, terutama saat musim kemarau.

Dengan demikian, asap sekecil apapun lebih mudah dideteksi dan langsung ditangani.

Menurutnya, satu-satunya cara untuk menangani karhutla adalah saat api masih dalam skala kecil. Maka dari itu, Chanee menyarankan adanya pelarangan api.

"Kalau sekarang pemadam kebakaran diturunkan saat api sudah besar atau menunggu laporan tentang titik api dari satelit. Itu sudah terlambat. Kalau gambutnya terbakar dalam skala besar itu sudah tidak ada harapn," ucapnya.

Baca juga: Karhutla di Sumatera dan Kalimantan, 144.000 Warga Kena ISPA

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com