Ini adalah artikel serial tentang “Dwifungsi Polri”. Sebelum membaca ini, baca artikel pertama dan kedua.
-----------------
KOMPAS.com - Sejumlah polisi menduduki jabatan strategis di sejumlah lembaga dan kementerian. Bahkan, ada yang menjadi duta besar.
Kapolri Tito Karnavian mengakui, ada banyak jenderal-jenderal "nganggur" di institusi Polri karena posisi yang tersedia memang tak banyak. Baca juga: "Dwifungsi Polri" (2): Karpet Merah Jokowi untuk Pak Polisi.
Jadilah para perwira polisi melanglangbuana di luar institusi.
Lalu apa yang terjadi jika polisi “menginfiltrasi” lembaga lain? Baca juga: “Dwifungsi Polri” (1): Eranya Polisi Mengurus KPK, Beras, hingga Diplomasi
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, yang sudah pasti, tersumbatnya saluran-saluran partisipasi masyarakat karena sudah dipenuhi dari unsur-unsur kepolisian.
"Ini bisa jadi masalah di kemudian hari kalau tak segera diantisipasi," kata dia.
Kedua, lembaga-lembaga yang dipimpin polisi boleh jadi akan bekerja dengan cara-cara kepolisian. Cara yang dikhawatirkan, tentu bukan cara-cara yang baik.
"Penggunaan pendekatan hukum dengan mengabaikan rasa keadilan dalam masyarakat, kriminalisasi, atau kebiasaan "86" untuk menutupi kasus, itu sudah menjadi rahasia umum sebagai perilaku yang identik dengan kepolisian, meski tak semua polisi seperti itu," ujar Bambang.
Ketiga, penempatan polisi bisa berbalik menjatuhkan kepercayaan publik terhadap Polri.
Dalam konteks Irjen Firli Bahuri yang terpilih menjadi Ketua KPK dan menuai protes, jika ia tak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat akan KPK maka citra Polri akan tercoreng.
Ketidakpercayaan publik tak akan mengarah kepada KPK, melainkan ke Polri di mana Irjen Firli berasal.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri mencapai rekornya pada 2018, dengan 82,9 persen dari 800 responden dari enam provinsi mengaku puas.
Namun perlu dicatat, citra Polri pernah jatuh hingga 29,7 persen pada 2011. Tahun itu, Polri digempur dengan kasus rekening gendut dan kasus Cicak vs Buaya.
Angka itu sempat naik menjadi 46,1 persen pada 2012, namun kembali jatuh ke titik terendahnya yakni 23,4 persen pada 2013. Saat itu, muncul kasus korupsi simulator SIM, kasus rekening gendut yang terulang, hingga konflik TNI-Polri.
Aib Polri yang masih mengganjal ini bisa terakumulasi dan kembali menjatuhkan citra mereka. Kampanye "Promoter" polisi bakal sia-sia jika kepercayaan publik tercoreng.