Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terjadi Hampir Setiap Tahun, Karhutla Bisa Jadi Bencana Nasional?

Kompas.com - 14/09/2019, 15:26 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Sumber BNPB

KOMPAS.com - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Sumatera, terutama Riau dan Kalimantan seolah tak pernah menemui titik akhir.

Hampir setiap tahun kasus karhutla semacam ini selalu terjadi dan dampaknya semakin meluas hingga membahayakan kesehatan masyarakat.

Menurut laporan Kompas.com, Jumat (13/9/2019), kasus karhutla telah mengakibatkan kota Pekanbaru, Riau dikepung kabut asap pekat. Akibatnya, pemprov setempat mengimbau ibu hamil hingga anak-anak untuk tidak beraktivitas di luar rumah.

Kompas.com, Sabtu (14/9/2019), juga melaporkan dua pesawat batal mendarat di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, karena kabut asap yang pekat kembali menyelimuti.

Meski dampak karhutla ini semakin meluas dan terjadi setiap tahun, pemerintah tak kunjung menetapkannya sebagai kasus bencana nasional.

Menurut pasal 7 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator meliputi, jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Menanggapi hal ini, Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin menilai kasus karhutla ini sudah selayaknya ditetapkan sebagai bencana nasional.

"Kasus karhutla ini sudah harus masuk kategori bencana nasional karena terjadi hampir setiap tahun dan lokasinya tidak hanya dalam satu tempat provinsi saja," ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (14/9/2019).

Baca juga: Viral soal Alat Pengukur Kualitas Udara yang Bertuliskan Tinggalkan Riau, Ini Penjelasannya...

Ulah Manusia

Rusmadya menambahkan kasus karhutla yang selama ini terjadi lebih banyak diakibatkan karena ulah manusia. 

Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan memberi efek jera melalui penegakan hukum.

"Kebakaran ini yang menyebabkan adalah manusia itu sendiri. Dan ini kaitannya dengan perilaku. Jadi, untuk mengatasi perilaku yang merugikan ini caranya dengan penegakan hukum," kata dia.

Hal serupa juga sempat diucapkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dalam "Rapat Koordinasi Komite Intelijen Pusat Antisipasi Dampak Musim Kemarau Tahun 2019 di Indonesia" di Kantor Badan Intelijen Negara (BIN) Jakarta, Kamis (22/8/2019).

Mengutip pemberitaan BNPB, Kamis (22/8/2019), kasus karhutla bisa menjadi ancaman bencana permanen bila tidak segera diselesaikan.

"Permasalahan karhutla sudah ada dari tahun-tahun yang lalu dan terus berulang. Penyebabnya pun selalu sama, yang mana 99 persen karhutla terjadi atas ulah manusia," ucap Doni, dikutip dari situs BNPB, Kamis (22/8/2019).

Perlu diketahui, kualitas udara di Pekanbaru, Riau memburuk akibat dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sejak Selasa (10/9/2019).

Hingga Sabtu (14/9/2019) pukul 12.30 WIB, menurut AirVisual, kondisi udara di Pekanbaru Riau, masih dalam kondisi tidak sehat (unhealthy) dengan Air Quality Index (AQL) atau indeks kualitas udara sebesar 161.

Selain mengurangi jarak pandang, kualitas udara yang buruk juga menimbulkan efek negatif yang besar bagi kesehatan, terutama di pernapasan.

Data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru menyebutkan, dari tanggal 1 hingga 12 September 2019, penderita ISPA di Pekanbaru berjumlah 1.520 orang. Jumlah tersebut meningkat signifikan setelah adanya dampak kabut asap karhutla.

Baca juga: Siang Ini Kualitas Udara di Pekanbaru, Riau Lebih Buruk dari Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber BNPB
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com