JAKARTA, KOMPAS.com - Kritik terus dilayangkan terhadap Presiden Joko Widodo yang telah mengirimkan surat presiden terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi kepada DPR, Rabu (11/9/2019).
Melalui, surpres itu, pemerintah setuju untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR.
Dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (12/9/2019), Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan sikap Jokowi yang tidak menunjukkan keberpihakannya pada penguatan KPK dan pemberantasan Korupsi.
ICW menyinggung soal janji yang pernah diungkapkan Jokowi untuk memperkuat KPK.
"Patut untuk diingat bahwa Joko Widodo terpilih menjadi presiden karena janji-janji yang telah diutarakan saat kampanye yang lalu sehingga masyarakat memilihnya. Lalu, jika saat ini Presiden tidak menepati janji untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi maka sudah barang tentu barisan pendukung presiden akan semakin berkurang drastis," demikian pernyataan ICW.
Baca juga: Dari Batas Waktu 60 Hari, Jokowi Hanya Pakai 6 Hari Setujui Revisi UU KPK, Ini Alasannya
ICW mengingatkan, sikap Jokowi ini akan berimplikasi serius terhadap kepercayaan publik.
Ada empat catatan yang diberikan ICW terhadap sikap Jokowi terkait revisi UU KPK:
1. Tergesa-gesa
ICW menilai, Presiden Jokowi tergesa-gesa dalam mengirimkan surat ke DPR dan menyetujui pembahasan revisi UU KPK.
Padahal, Pasal 49 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan secara tegas, ada tenggat waktu 60 hari sebelum Presiden menyepakati usulan UU dari DPR.
Menurut ICW, Presiden seharusnya menggunakan tenggat waktu itu untuk menimbang usulan revisi UU KPK yang diajukan DPR.
Sejumlah poin revisi UU KPK dinilai akan melemahkan KPK.
2. Abaikan aspirasi masyarakat
ICW berpandangan, Presiden Jokowi mengabaikan masukan dan aspirasi mayarakat.
Berbagai elemen masyarakat, organisasi, tokoh, bahkan lebih dari 100 guru besar telah menyatakan sikapnya untuk menentang pelemahan KPK dari jalur legislasi ini.
ICW kembali mengingatkan bahwa selain menjadi kepala pemerintahan, Presiden juga merupakan kepala negara yang harus memastikan lembaga negara seperti KPK tidak dilemahkan oleh pihak mana pun.
3. Ingkar janji
Presiden dinilai mengingkari janjinya tentang penguatan KPK dan keberpihakan pada isu anti-korupsi.
Padahal, pada 4 poin Nawa Cita yang dicetuskan oleh Jokowi, menyebutkan, ia menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Dengan sikap Presiden yang menyepakati revisi UU KPK usulan dari DPR ini, Nawa Cita yang didengungkakn Jokowi itu, tidak terlihat sama sekali.
4. Abaikan prosedur formil
Presiden dianggap mengabaikan prosedur formil dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan revisi UU harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Baca juga: Revisi UU KPK Jalan Terus, Ini Tiga Keinginan Jokowi
Selain itu, tata tertib Pasal 112 (1) jo Pasal 113 Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 menyebutkan, rancangan undang-undang disusun berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan.
Sementara, menurut catatan ICW, revisi UU KPK tidak masuk dalam prolegnas prioritas.
ICW juga berpandangan, narasi penguatan KPK yang kerap diutarakan oleh DPR selama ini tidak pernah terbukti.
Dalam catatan ICW, sejak revisi UU KPK bergulir pada tahun 2010, hampir keseluruhan naskah yang beredar bermuatan pelemahan terhadap KPK.
ICW menuntut agar Presiden dan DPR mendengarkan aspirasi masyarakat.
Selain itu, ICW juga mengajak agar masyarakat untuk mengkritisi dan menyerukan penolakan terhadap upaya pelemahan KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.