Walaupun jumlah perajin terus berkurang, perak menyiratkan spirit masyarakat yang dinamis dan egaliter.
Transformasi sosial menempatkan karya budaya itu dari awalnya peranti kerajaan, menjadi komoditas perniagaan masyarakat umum.
Bentuk peraknya juga beragam, mulai dari berbagai perhiasan seperti cincin, liontin kalung, gelang, dan anting.
Saat Ibu Kota Mataram berpindah ke Kerto, Imogiri yang berjarak 15 kilometer arah selatan Kotagede pada pertengahan abad ke-17, perkembangan perak semakin melesat.
Tidak hanya memenuhi pesanan dari kerajaan, tetapi semakin melebar menjadi komoditas perdagangan umum.
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1930-1940, produk perak dari Kotagede mampu menembus pasar Eropa, terutama Belanda.
Hingga saat ini, perak menjadi identitas Kotagede.
Akan tetapi, bukan satu-satunya karya budaya masa lampau yang hingga kini masih hidup di sini.
Baca juga: Kerajinan Perak Kotagede, dari VOC hingga Orde Baru
Pada 1613, setelah tidak lagi berstatus Ibu Kota Kerajaan Mataram, Kotagede masih terus menggeliat dan mengalami perubahan sosial yang begitu dahsyat.
Ketua Dewan Pengarah Pusat Dokumentasi Kotagede Chariis Zubair mengatakan, Kotagede merupakan kota tua yang unik jika dilihat dari sejarah kebudayaannya.
Selepas tidak lagi menyandang status Ibu Kota Kerajaan Mataram, di Kotagede muncul bangunan-bangunan rumah yamg menempati bekas-bekas lahan kerajaan.
Alun-alun, lapangan terluas simbol keberadaan keraton, pelan-pelan dihuni oleh masyarakat umum.
Demikian pula Kampung Ndalem yang merupakan Istana Mataram juga menjadi daerah hunian.
"Orang-orang yang membangun rumah-rumah itu adalah saudagar-saudagar kaya sebagai pengusaha perak. Mereka inilah yang membangun rumah joglo dengan arsitektur dari masa ke masa. Itu merupakan rumah mewah pada masanya," kata Zubair.
Oleh karena itu, hingga saat ini Kotagede masih memiliki peninggalan rumah Jawa berasitektur joglo atau limasan yang bercorak Hindu, Islam, dan masa kolonial Belanda.
Kehadiran orang-orang yang dibawa dari Bali pada masa pemerintahan Sultan Agung, yang hidup kaya sebagai pengukir kayu, juga menambah kekayaan budaya Kotagede.
Peninggalan orang-orang kalang seperti Omah Duwur adalah salah satu contoh arsitektur unik campuran antara Jawa dan Belanda.
(Sumber: Kompas.com/Silvita Agmasari, Aloysius B Kurniawan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.