Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Maengket dan Permesta

Kompas.com - 25/08/2019, 15:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERMESTA dan “maengket” adalah dua kosa kata yang bersatu dalam pikiran dan hati saya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.

Di dalam anganku, maengket adalah suasana keindahan hidup bersama dalam tarian, lagu dan pesta pengucapan syukur kepada Tuhan dan alam semesta yang telah memberi kehidupan.

Sedangkan Permesta atau perjuangan rakyat semesta, adalah “pemberontakan” atau “aksi protes” atau “kritik keras” orang-orang Minahasa (Sulawesi Utara) kepada pemerintahan pusat di Jakarta (tahun 1957/1958 - 1961).

Dalam hati dan pikiran saya, kosakata Permesta adalah sebuah misteri hidup ini.
Mendengar kosa kata “maengket” angan saya pertama adalah terbang ke masa lalu di tiga kampung di sekitar tangsi-tangsi militer/Angkatan Darat di Magelang, Jawa Tengah.

Baca juga: Tomohon International Flower Festival ke-8 Akan Digelar Lebih Meriah

Ketiga kampung itu adalah Pasartelo, Ngentak dan Kwayuhan. Sejak zaman kolonial Belanda ketiga kampung itu dihuni oleh banyak orang dari Minahasa (Sulawesi Utara) dan Ambon (Maluku Selatan).

Ketika masih kecil bila orang Magelang bertanya tempat tinggal saya dan saya jawab, tinggal di Kwayuhan, maka sang penanya langsung menebak, “kamu orang Manado/Minahasa ya?”.

Ketiga kampung itu sejak tahun 1960-an terkenal di Magelang sebagai kampung RW (menu daging anjing dengan bumbu rica-rica khas Minahasa/Manado ) dan tarian maengket.

Hampir satu minggu sekali, masyarakat Minahasa/Manado di ketiga kampung itu latihan tarian maengket atau cakalele (tarian kabasaran atau tarian perang). Secara bergiliran, setiap keluarga warga Minahasa/Manado di ketiga kampung itu menyediakan tempat untuk latihan maengket.

Tari Maengket dan Katrili di ManadoDok J Osdar Tari Maengket dan Katrili di Manado

Tuan rumah yang halamannya dipakai untuk latihan maengket otomatis menghidangkan berbagai menu makanan khas Minahasa, seperti sayur pangi, saut, RW, tinorangsak, dabu-dabu, nasi bungkus, nasijaha, sayur gedi, panikisantang dan seterusnya.

Di siang hari atau sore hari, bila genderang tambur dibunyikan, masyarakat di ketiga kampung itu tahu ada latihan maengket. Suara tambur cukup keras hingga terdengar sampai di setiap penjuru kampung.

Baca juga: Penampakan Sapi Kurban yang Dibeli Jokowi di Sulut, Putih, Tegap, dan Berotot

Beberapa menit kemudian akan terdengar suara alunan lagu-lagu maengket yang menggema di langit. Maengket yang digelar masyarakat Minahasa di perantauan ini menjadi tontonan bagi banyak orang Magelang.

Maengket bagian dari kehidupan

Bagi orang Minahasa di perantauan, maengket adalah bagian dari kehidupannya, budaya. Tarian dan lagu ini adalah sebuah doa yang diserukan kepada Tuhan dan alam semesta.

Emiliana Teta adalah salah satu penari maengket yang cukup andal dan piawai di Magelang saat itu. Para penari maengket adalah om-om, tante-tante, oma-oma, opa-opa, nona-nona, nyong-nyong, anak-anak laki dan perempuan.

Kampung dan markas Permesta Dok J Osdar Kampung dan markas Permesta

Tarian ini sangat indah dan memesona bila digelar di alam terbuka di halaman rumah atau lapangan terbuka. Simbol bersatunya manusia dengan alam akan terhayati sekali.

Jiwa dari maengket terasa hilang bila dipentaskan di atas panggung. Gerak tari dan alunan lagu maengket cukup sederhana dengan iringan genderang tambur (tambor).

Semua penari bergerak seirama sambil menyanyi, melantunkan lagu madah pujian pada Tuhan dan alam semesta. Maengket juga menjadi simbol kerjasama atau gotong royong atau mapalus dalam membangun rumah, menanam padi dan panen.

Opo wailan kamangene, se mangale-aley wene, oe kamberu e...Kamberube wailan, upu’en katepu-tepu’na... (Tuhan yang mahakuasa berikan kami berkat, kami minta tanaman padi yang subur, beras yang baru, oh Tuhan biarlah kami memetik pada padi yang subur... )

Begitulah salah satu syair lagu tarian maengket. Syair lagu maengket lainnya berbunyi: “Kai rumambak mo e makawale. Sesake pinengale e makawale.“ Artinya, kami permisi mau naik ke rumah yang baru, tuan.

Suatu hari, acara latihan maengket menjadi lebih meriah dari biasanya. Ketika itu puluhan pemuda Minahasa berseragam militer datang dan ikut latihan maengket.

Saat itu juga saya mengenal kosa kata “permesta.” Pendatang baru ini, kata orang-orang saat itu, adalah para mantan tentara Permesta yang sudah direhabilitasi dan dilatih untuk masuk TNI.

Ada orang yang mengatakan, mereka itu mantan “pejuang”, tapi ada pula yang mengatakan mereka itu mantan “pemberontak” atau “gerombolan” yang belum lama keluar dari hutan-hutan di Sulawesi. Kebetulan saat itu yang memimpin latihan maengket adalah seorang prajurit Kaveleri TNI/AD, Yan Lengkong.

Kampung dan markas Permesta Dok J Osdar Kampung dan markas Permesta

Beberapa waktu kemudian, setelah para pemuda mantan Permesta itu ikut latihan maengket, sering terjadi keributan. Di antara para mantan gerilya Permesta sering hampir berkelahi.

Beberapa orang tua bercerita pada saya saat itu, mereka berkelahi atau baku hantam karena masih ada rasa dendam di antara mereka. Mereka berasal dari kelompok-kelompok pasukan yang saling bertentangan ketika aksi perjuangan berlangsung di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.

Ketegangan di antara para mantan orang-orang Permesta ini lebih sering terjadi di saat latihan tarian cakalele, tarian kabasaran atau tarian perang.

Meijo torang ganti peda kayu ini den peda baja (Mari kita ganti pedang kayu ini dengan pedang baja atau besi)," teriak salah seorang peserta latihan cakalele yang saya dengar waktu itu. Sampai kini kata-kata itu tidak pernah saya lupakan.

Suatu pagi, orangtua saya menerima amplop surat dari Bandung, Jawa Barat, yang berisi kertas bertuliskan tangan dan foto dua sosok tentara berpangkat kapten Angkatan Darat/TNI.

Orangtua saya hanya mengatakan kedua orang itu, Om Mogot dan Om Buha, adalah famili saya dari Kampung Woloan dan Taratara, Tomohon, Sulawesi Utara. Ketika mereka datang dan menginap di rumah, saya mendapat banyak cerita tentang Permesta.

Mereka juga bercerita tentang adik mama saya, Yoseph Rory Ngenget (Om Osep), pernah ke Woloan sebagai anggota Brigade Mobil (Brimob) yang ikut menumpas Permesta. Om Osep pernah bercerita pada saya, Permesta itu adalah gerakan orang-orang yang tidak sabar.

“Bayangkan Republik ini baru berusia beberapa tahun, masak sudah harus sempurna dalam memberi perhatian pada daerah,” ujar Om Osep di Bogor, Jawa Barat beberapa tahun lalu.

Ketika saya tinggal di Pineleng, Tomohon, Sulawesi Utara, pertengahan tahun 1970-an, saya sering diundang untuk jadi juri lomba maengket dan berbagai tari dan lagu Minahasa. Antara lain saya pernah jadi juri di Kampung Lemoh, Lola, Kawangkoan, Kembes, Rumengkor dan lain-lainnya.

Saat itu saya bisa menikmati sepuas hati keindahan tari maengket dan tari tradisionil Minahasa lainnya. Saya semakin yakin saat itu, maengket adalah bagian yang indah dari kehidupan Minahasa.

Suasana rumah tak terurus di kampung dan markas Permesta
Dok J Osdar Suasana rumah tak terurus di kampung dan markas Permesta

Maengket sangat indah bila digelar di alam terbuka, di antara meja-meja dari kayu atau bambu tempat meletakan makanan (tinutuan yang ditaruh di atas daun pisang, RW, apang, balapis, brudel, saut, pangi dan seterusnya) dan minuman (saguer, cap tikus dan lainnya).

Menarik lagi tarian itu bisa digelar di kala anak-anak kampung sedang berlari-lari, bermain dan bertriak-teriak secara bebas. Sementara itu, gunung-gemunung, hutan cengkeh, enau, rumbia, pohon nyiur ikut tersenyum.


Tidak perlu menjiplak

Empat tahun terakhir ini hampir satu minggu sekali saya ke Sulawesi Utara dan sering berkeliling ke berbagai kampung di pelosok propinsi ini. Kini Sulawesi Utara sedang dilihat banyak orang di seluruh Indonesia dan sejumlah negara lain, sebagai tempat tujuan wisata.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan, Sulawesi Utara, sebagai salah satu dari 10 wilayah yang akan jadi Bali baru. Kampung tradisional, acara pesta pengucapan syukur, dan maengket, bisa jadi obyek wisata yang khas Minahasa.

Ini bisa jadi keunikan seperti yang dimiliki Bali. Jadi Sulawesi Utara tidak perlu harus menciptakan obyek wisata jiplakan dari wilayah lain atau bahkan mencontoh luar negeri.

Eropa Barat, menjual sejarahnya, termasuk benda bendanya dan situs-situsnya, untuk menarik wisata. Sulawesi juga punya sejarah, termasuk sejarah Permesta yang punya pertalian unik dengan Amerika Serikat, Singapura, Hongkong, Filipina dan beberapa negara lainnya.

Jumat, 9 Agustus 2019 lalu, setelah menghadiri Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di Bali, saya terbang ke Manado. Di pesawat itu saya bersama staf khusus Gubernur Sulawesi Utara, Olden Kansil.

Dalam penerbangan dengan sebuah pesawat yang penuh sesak, saya melihat beberapa turis dari Amerika Serikat yang duduk di depan saya, masing-masing sedang membaca buku berjudul Permesta: Half - a- Rebellion yang ditulis Barbara Sillars Harvey dan diterbitkan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1984.

Kampung dan markas Permesta Dok J Osdar Kampung dan markas Permesta

Saya iseng bertanya kepada mereka tujuan mereka terbang ke Manado. “Saya tertarik untuk datang ke Sulawesi Utara karena membaca buku sejarah ini,” ujar salah satu dari mereka.

Saya jadi ingat salah satu ucapan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam orasinya dalam kongres di Bali itu. Mega mengumandangkan kembali seruan Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com