Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Matematika dan Puisi

Sonata adalah suatu jenis bentuk karya musik terdiri dari tiga bagian berasal dari era klasik-Wina meski di era romantik kemudian berkembang menjadi bentuk sesuai kehendak sang pencipta, semisal Sonata untuk pianoforte mahakarya Franz Liszt.

Sementara Soneta adalah suatu bentuk atau jenis puisi yang secara implisit maupun eksplisit mengaitkan diri dengan matematika.

Dari definisi Soneta sebagai suatu jenis puisi berasal dari zaman Rennaisance di Italia yang mengandung empat-belas larik frasa sambil mengikuti skema rima tertentu serta memiliki pentameter lambik sudah dapat disimpulkan bahwa soneta memang mengandung unsur-unsur matematikal.

Soneta merupakan satu di antara bentuk seni-sastra yang digandrungi Shakespeare. Terbukti sang maha penyair Inggris kelahiran Stratford-Upon-Avon ini menggubah tidak kurang dari 154 soneta.

Di Indonesia, puisi terkait matematika tampil pada jenis untaian kata yang disebut sebagai pantun yang kini telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan kebudayaan dunia.

Lazimnya pantun memiliki struktur yang terdiri atas sampiran dan isi. Sampiran berfungsi menyiapkan rima dan irama yang dapat membantu pendengar memahami isi pantun.

Pada umumnya sampiran tidak memiliki hubungan dengan isi, meski terkadang sampiran dapat memberi pra-bayangan terhadap isi pantun.

Isi merupakan bagian inti pantun yang berisi maksud atau pikiran yang akan disampaikan si pembuat pantun.

Dapat dipahami bahwa pada dasar historisnya, semula pantun merupakan sastra lisan yang mengandung rima dan irama. Pola rima dan irama pada pantun secara eksplisit menegaskan sifat kelisanan pantun pada kebudayaan Melayu.

Aturan umum berlaku pada pantun, seperti halnya puisi lama. Misalnya, satu larik pantun terdiri atas 6-12 suku kata. Namun, aturan ini tak selalu bersifat kaku.

Pola rima umum yang berlaku pada pantun adalah a-b-a-b dan a-a-a-a. Meski demikian, kerap juga ditemukan pula pola pantun yang berpola a-a-b-b. Pantun kontemporer sama dengan musik kontemporer kerap tidak peduli aturan.

Beberapa pihak pemerhati matematika dan musik, termasuk saya menafsirkan puisi pada hakikatnya sama dengan atau minimal mirip musik.

Sementara puisi merupakan untaian kata, maka musik merupakan untaian nada yang keduanya dirangkai secara matematikal serta estetikal.

Jika Leibniz menyatakan bermusik adalah perilaku menghitung tanpa sadar jika menghitung maka dapat dinyatakan bahwa berpuisi juga merupakan perilaku menghitung tanpa sadar jika menghitung.

Justru perilaku menghitung tanpa sadar jika menghitung itu lah yang menyatukan puisi dengan musik dalam kesatuan keterkaitan hakiki dengan matematika melalui irama.

Irama pada puisi dan musik memang merupakan unsur utama yang bersifat matematikal. Namun untaian nada yang disebut sebagai melodi juga yang dapat dirasakan hadir pada musik sekaligus puisi termasuk pantun, pada hakikatnya juga merupakan indikasi karsa matematikal yang digarap secara estetikal.

Atau juga sebaliknya karsa estetikal yang secara sadar dan/atau tak sadar digarap secara matematikal maupun metamatematikal atau ikal-ikal lain-lainnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/30/100158565/matematika-dan-puisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke