Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Supersemar: Kronologi, Tokoh, dan Kontroversinya

KOMPAS.com - Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 mengubah jalannya sejarah.

Bermula dari surat itu terjadi penyerahan mandat kekuasaan dari Soekarno kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) saat itu, Letjen Soeharto.

Dilansir dari laman Universitas Airlangga (Unair), Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Purnawan Basundoro menyampaikan Supersemar terbit ketika kondisi bangsa sedang tidak menentu.

Sejarah lahirnya Supersemar

Supersemar lahir saat Indonesia baru saja dihantam gonjang-ganjing G30S yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Presiden Sukarno saat itu didesak untuk mengusut aktor peristiwa G30S/PKI dan mengatasi masalah perekonomian negara sedang carut marut.

"Satu sisi, yang dianggap sebagai dalang dari peristiwa G30S itu belum ditangani dan di sisi lain, ada protes dari mahasiswa yang menginginkan agar aktor dari pelaku peristiwa G30S itu bisa segera ditangani," kata Purnawan. 

Berikut sejarah Supersemar mulai dari kronologi, tokoh, isi, beserta kontroversi yang belum terpecahkan hingga hari ini.

Kronologi Supersemar terbagi sebelum, ketika, dan setelah surat ini dikeluarkan oleh Soekarno. Berikut penjelasannya.

Sebelum Supersemar dikeluarkan

Dilansir dari Kompas.com, sejarah Supersemar tidak bisa dilepaskan dari G30S/PKI yang menyebabkan gejolak di dalam negeri.

Pada awalnya, kelompok tentara menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di balik peristiwa pembunuhan tujuh jenderal.

Peristiwa tersebut terjadi pada 30 September 1965 dengan sasaran Dewan Jenderal yang beranggotakan perwira tinggi Angkatan Darat (AD).

Sebanyak enam jenderal dan satu perwira menjadi korban G30S/PKI dan jenazahnya dibuang di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Mereka diculik, dianiaya, dan dibunuh karena dituduh akan melengserkan Soekarno dari jabatannya.

Setelah G30S/PKI terjadi, kelompok pemuda yang menentang paham komunis membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indnesia (KAMI).

Organisasi tersebut berdiri pada Oktober 1965 yang dibarengi dengan kemunculan organisasi lain, seperti Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).

Semenjak G30S/PKI, posisi Soekarno yang sebelumnya superior berkat Tap MPRS Nomor III/ MPRS tentang pengangkatan dirinya sebagai presiden seumur hidup, mulai melemah.

Kelompok pemuda lantas menuduh Soekarno tidak dapat mengusut G30S/PKI dan tidak mengatasi perekonomian negara yang tidak stabil.

Sukarno dinilai tidak menggubris protes yang diarahkan kepadanya kendati gelombang unjuk rasa makin membesar ketika awal tahun 1966 terjadi inflasi.

Dilansir dari Kompaspedia, kelompok pemuda yang tergabung dalam Front Pancasila menggelar unjuk rasa di halaman Gedung DPR-GR pada 12 Januari 1966.

Ada tiga tuntutan yang mereka kemukakan dalam Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni:

Gelombang unjuk rasa kemudian berlanjut pada 11 Maret 1966 dan massa melakukan aksinya di depan Istana Negara.

Melihat situasi yang semakin tidak kondustif, Soeharto meminta Soekarno untuk mengeluarkan surat perintah supaya ia dapat mengatasi keadaan. Namun, permintaan tersebut tidak disampaikan ke Soeharto secara langsung.

Soeharto menitipkan pesan khususnya ke Soekarno ke Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Yusuf, dan Jenderal Amir Machmud. Kebetulan, pada saat itu ketiganya memang berencana untuk bertemu dengan Soekarno.

Soekarno lantas menyetujui permintaan Soeharto dan mengeluarkan Supersemar.

Surat tersebut dikeluarkan supaya Soeharto melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengawal Pemerintahan Soekarno.

Tetapi, fakta berkata lain. Soeharto menggunakan Supersemar untuk menjadikan legitimasi melarang PKI dan membubarkannya.

Keputusan tersebut diambil selang 24 jam setelah ia menerima Supersemar dari Soekarno.

Ia juga mengeluarkan SK Presiden Nomor 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1066 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Setelah dikeluarkannya Supersemar yang disetujui Soekarno, Seoharto juga mengeluarkan perintah untuk menangkap 15 menteri yang dinilia berkaitan dengan PKI dan G30S/PKI.

Tak lama setelahnya, Sidang MPRS menunjuk Soeharto sebagai penjabat presiden dan ia resmi menduduki kursi RI-1 pada 27 Maret 1968.

Beralihnya tampuk kepemimpinan dari Sukarno ke Soeharto mengakhiri jalannya Orde Lama dan berganti menjadi Orde Baru.

Sebelum Soeharto menjadi presiden, Soekarno sebenarnya sudah mengeluarkan Surat perintah 13 Maret (Supertasmar).

Isi surat tersebut adalah mengumumkan bahwa Supersemar sifatnya teknis atau administratif dan tidak politik.

Sukarno juga meminta Soeharto untuk memberi laporan kepada dirinya, namun usaha ini gagal. Soeharto tetap kuat berkat Supersemar hingga ia dilantik menjadi presiden menggeser Seokarno.

Tokoh yang terlibat dalam Supersemar

Ada beberapa tokoh yang terlibat dalam Supersemar. Berikut daftarnya:

  • Soekarno: pihak yang mengeluarkan dan menandatangani Supersemar sesuai permintaan Soeharto
  • Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Yusuf, dan Jenderal Amir Machmud: pembawa pesan dari Soeharto ke Soekarno
  • Soeharto: penerima Supersemar yang akhirnya dilantik menjadi presiden menggantikan Soekarno.

Kontroversi Supersemar

Supersemar yang kemudian mengubah jalannya sejarah diliputi sejumlah kontroversi hingga hari ini.

Sebab terdapat tiga versi Supersemar yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) diketahui tidak autentik.

Tiga versi Supersemar yang disimpan dikeluarkan oleh Pusat Penerangan TNI AD, Akademi Kebangsaan, dan Sekretariat Negara yang terdiri dari dua lembar.

Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (sekarang BRIN) ASVI Warman Adam mengatakan, keberadaan Supersemar yang asli belum diketahui hingga saat ini.

Bahkan, Supertasmar yang dikeluarkan Soekarno pun juga tidak diketahui keberadaannya.

Tak hanya itu, ajudan Soekarno bernama Letnan Satu Sukardjo Wilardjito mengaku, sang presiden berada di bawah ancaman ketika mengeluarkan Supersemar.

Dilansir dari alaman Universitas Diponegoro (Undip), Sukardjo melihat empat perwira TNI AD datang menghadap Soekarno.

Mereka adalah Brigjen Maraden Panggabean, Brigjen Amir Machmud, Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen M. Jusuf.

Jumlah perwira TNI AD yang bertemu Soekarno berbeda dengan versi Soeharto yang mengatakan dirinya menitipkan pesan kepada tiga orang.

Sukardjo mengatakan, Soekarno ditodong pistol oleh Brigjen Maraden Panggabean dan Brigjen Basuki Rahmat supaya ia mengeluarkan Supersemar.

Dari situ, Soekardjo membalas dengan menodongkan pistol namun ia diminta oleh Soekarno untuk menurunkannya.

Namun, buku A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto yang ditulis A.M Hanafi, menuliskan bahwa tiga perwira AD yang menemui Soekarno tidak menodongkan pistol.

Menurutnya, Brigjen Amir Mahmud sudah menelpon pengawal presiden di Bogor, yaitu Kombes Soemirat, untuk bertemu Soekarno.

Setelah izin diberikan, tiga perwira AD berangkat dari Jakarta menuju Istana Bogor.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/10/130000465/sejarah-supersemar--kronologi-tokoh-dan-kontroversinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke