Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Desakan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

Pandangan tersebut seakan menjadi jawaban atas kegaduhan politik yang terjadi ahir-ahir ini, yaitu terkait desakan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Pada 17 Januari 2023, ribuan kepala desa berkumpul di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta. Orang-orang berseragam coklat itu berunjuk rasa menuntut DPR memperpanjang masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

Mereka berdalih, masa jabatan enam tahun yang diemban selama ini, tidak cukup untuk membangun desa yang lebih baik.

Sebagai pemimpin daerah otonom yang dipilih langsung oleh masyarakat, kepala desa memiliki tugas yang cukup besar. Mereka harus mampu menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, pembinaan serta pemberdayaan desa (Pasal 26 ayat 1, UU Desa). Pemerintah desa juga harus mampu mengelola dana desa yang besarannya mencapai Rp 1 miliar per tahun.

Akan tetapi, kondisi tersebut tidak secara otomatis menjadi alasan perpanjangan masa jabatan. Sebab perubahan batasan masa kekuasaan bukan hanya disandarkan pada argumentasi politik dan ekonomi, tetapi ada legitimasi hukum yang harus ditaati. Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa selayaknya diposisikan dalam perspektif hukum ketatanegaraan.

Bernuansa Politik

Banyak pihak menganggap wacana penambahan jabatan kepala desa menjelang Pemilu serentak 2024 syarat muatan politik. Dengan masa jabatan yang diperpanjang, ribuan kepala desa ini nanti harus berterima kasih kepada partai politik dalam bentuk memberi dukungan politik elektoral. Bahkan lebih jauh lagi, dukungan tersebut bisa saja dikonversi menjadi izin proyek strategis di wilayah pedesaan.

Dalam aturan hukum yang berlaku, jabatan kepala desa diatur melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Pada Pasal 39 ayat (1) disebutkan: Kepala desa memegang jabatan selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kemudian ayat (2) menyebutkan: Kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Merujuk aturan tersebut, sebenarnya masa jabatan kepala desa lebih lama dibanding presiden dan kepala daerah. Masa jabatan presiden dan kepala daerah hanya boleh dijabat selama dua periode dengan rentang waktu satu periodenya lima tahun.

Artinya, presiden dan kepala daerah hanya bisa menjabat 10 tahun, sementara kepala desa bisa menjabat hingga 18 tahun (3 periode). Padahal secara wilayah kerja, presiden dan kepala daerah lebih luas dan kompleks.

Secara subtansi, lahirnya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa diharapkan menjadi tonggak perubahan pradigma desa. Desa tidak lagi dianggap sebagai obyek pembangunan, melainkan ditempatkan menjadi subyek dan ujung tombak pembangunan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa mempunyai kewenangan untuk mengatur sendiri pembangunan yang dilakukan di wilayahnya.

Tujuan dari semua itu, tidak lain adalah untuk memudahkan desa mewujudkan kesejahteraan bagi warganya. Meski demikian, pembatasan masa jabatan perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kekuasaan yang tidak terbatas (unlimited power).

Sebagaimana premis Leonard R Sorenson (1989) bahwa ancaman paling mendasar bagi rakyat adalah pemerintah dengan kekuasaan yang terlalu kuat. Sebaliknya, perlindungan rakyat yang paling mendasar adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya (limited government).

Selain argumen di atas, jabatan yang terlalu lama juga akan membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga 2022, sudah ada 1.310 kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Sebanyak 686 tersangka di antaranya ialah perangkat desa.

Akibatnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan hingga menjadi hasil paling buruk sejak reformasi (Transparency International).

Berdasarkan realitas tersebut, merevisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 untuk melegitimasi penambahan jabatan kepala desa bisa mencederai prinsip kedaulatan rakyat. Perubahan konstitusi tidak boleh dilakukan hanya untuk ego kekuasaan. Apalagi dilakukan menjelang Pemilu serentak 2024, bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya teransaksi politik elektoral.

Upaya Perbaikan

Dengan demikian, diskursus terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa hendaknya diarahkan pada fungsi koreksi dan optimalisasi peran desa. Sesuai amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan pedesaan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa.

Caranya, dengan mendorong pembangunan desa-desa mendiri dan berkelanjutan (sustainable) yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kita perlu belajar dari Korea Selatan sebagai salah satu negara Asia yang berhasil melaksanakan pembangunan desa.

Di Korea Selatan, pemerintah melaksanakan program saemaul undong (gerakan desa baru). Gerakan ini berbasis pada lima jenis semangat, yaitu keluar dari kemiskinan, reformasi spiritual, pembangunan desa, persatuan rakyat, dan mewarisi tradisi masyarakat. Gerakan desa baru juga diperkuat dengan tiga asas, yaitu ketekunan, swadaya, dan kerja sama.

Sementara itu, dalam rangka konsolidasi, demokrasi subtansial mesti berangkat dari gerakan kritis masyarakat desa. Upaya ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti pendidikan politik, diskusi kebijakan hingga pengorganisasian potensi sumberdaya masyarakat.

Semakin rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, semakin adab juga kebijakan politik yang dihasilkan. Masyarakat yang inklusif dan terkonsolidasi dengan baik niscaya dapat menjadi kontrol sosial terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/06/142721065/menyoal-desakan-perpanjangan-masa-jabatan-kepala-desa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke