Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menilik Kasus Korupsi di Indonesia yang Tidak Pernah Habis...

KOMPAS.com - Kasus korupsi di Indonesia seperti tidak pernah absen dari hari ke hari. 

Selain ramai soal nama Lukas Enembe, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menetapkan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua P Simandjuntak sebagai tersangka pada Jumat (16/12/2022) dini hari.

Sahat bersama tiga orang lainya diciduk terkait dugaan suap terkait alokasi dana hibah yang bersumber dari APBD Provinsi Jawa Timur.

Lalu, mengapa kasus korupsi di Indonesia tidak pernah usai?

Kasus korupsi dan faktor mindset yang keliru

Mantan penasihat KPK 2017-2019 Budi Santoso membenarkan bahwa kasus korupsi di Indonesia masih ada dan masih akan terus ada jika didasari dari faktor mindset yang keliru.

"Kasus korupsi masih ada dan masih akan terus ada apabila mindset kita semua masih menganggap bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi seolah hanya menjadi beban dan tanggung-jawab KPK saja," ujar Budi kepada Kompas.com, belum lama ini.

Menurut dia, bahkan aparat penegak hukum (APH) lain juga mengandalkan KPK sebagai "tulang punggung" satu-satunya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

"Terakhir dengan tertangkapnya dua hakim agung MA misalnya, seolah APH lain sama sekali merasa tidak punya beban untuk berkontribusi membantu tupoksi KPK, mindset ini tentu saja salah besar," lanjut dia.

Selain itu, kasus korupsi juga tidak akan habis terlebih dengan melihat kondisi internal KPK seperti sekarang ini.

Artinya, akan sangat naif jika upaya pemberantasan tipikor hanya dibebankan kepada KPK saja.

Apakah hadirnya KPK dalam memberantas korupsi masih kurang?

Terkait hal ini, Budi mengatakan, hadirnya KPK dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dinilai masih kurang.

Ia menambahkan, ada juga keengganan pemerintah dan DPR untuk menuntaskan janji reformasi dalam hal pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Noptisme (KKN).

"Artinya, dengan segala upayanya untuk terus merecoki kewenangan-kewenangan KPK sebagaimana terjadi pada pengundangan revisi UU KPK pada 2019 yang lalu," ujar Budi.

Mengenai keengganan pemerintah dan DPR yang disebutnya, Budi menganggap, pemerintah dan DPR tidak serius dalam memperkuat kelembagaan KPK.

"Mereka tidak serius dalam memperkuat kelembagaan KPK, yang terjadi adalah sebaliknya,  contoh revisi UU KPK 2019 yang isi/substansinya banyak yang memperlemah kewenangan KPK," ucap Budi.

Sementara itu, dari sisi leadership/kepemimpinan di KPK, pemerintah dan DPR justru memilih figur-figur yang tidak punya rekam jejak dalam pemberantasan korupsi yang cemerlang.

"Ingat bahwa Ketua KPK sekarang sewaktu menjadi Deputi Penindakan sempat "berurusan" dengan Dewan Pertimbangan Pegawa (DPP) terkait pelanggaran Kode Etik berkategori berat," kata dia.

Contoh kasus lain yakni, Lili Pintauli Siregar juga mundur karena pelanggaran etik, soal penggunaan helikopter yang diputus Dewan Pengawas sebagai pelanggaran Kode Etik berkategori sedang, dan lainnya.

Budi juga menyayangkan hal tersebut bisa terjadi di Tanah Air.

Tak hanya itu, faktor lain yang disebut menjadi sumber keengganan pemerintah dan DPR dalam menunjang/membantu tupoksi KPK yakni pelemahan SDM internal KPK.

Budi menjelaskan, terjadi pelemahan Sumber Daya Manusia (SDM) internal juga terjadi pemecatan paksa terhadap 75 pegawai KPK (Novel Baswedan dkk).

"Pelemahan SDM internal juga terjadi dengan alasan yang dicari-cari dan sangat tidak masuk akal," pungkasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/17/100500965/menilik-kasus-korupsi-di-indonesia-yang-tidak-pernah-habis-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke