Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Indonesia, Negeri Muskil di Jantung Peradaban Dunia

Masih belum cukup, ada lagi tiga sesar aktif yang salah satunya telah memorak-porandakan Cianjur (Jawa Barat) pada Senin, 21 November 2022. Para ahli geologi menamai tiga bersaudara itu sebagai Cimandiri, Lembang, dan Baribis.

Tentu saja, yang terjadi di Cianjur adalah rangkaian panjang peristiwa alam yang kita namai bencana. Gempa misalnya, tak pernah membunuh. Manusialah yang abai padanya dengan membuat hunian tak ramah lingkungan. Sebagaimana laiknya rangkaian, wajar bila gempa Cianjur disusul ratusan rekannya selama beberapa hari.

Salah satu hasil kontraksinya, meletuslah Gunung Semeru di Jawa Timur pada Jumat, 4 Desember 2022. Menariknya, letusan Semeru sudah didahului Lewotolo di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan durasi yang tak jauh beda. Keduanya sama sedang mengulang letusan pada 2021.

Bukankah pola seperti itu sudah kita saksikan berulangkali? Adakah kita memetik pelajaran dari itu semua?

Pergerakan "Bedawang Nala"

Berkaitan dengan gempa bumi dan beberapa gunung yang sedang aktif, leluhur kita sudah menjelaskan bahwa itu terjadi karena pergerakan "Bedawang Nala" (seekor kura-kura raksasa di dalam inti bumi yang dibelit dua naga penjaga), lantaran Naga Basuki dan Naga Anantaboga terlelap/terlena sekejap saat bertugas melilit tubuh Bedawang Nala sebagai penyeimbang.

Jika ditelusuri dari akar kata, akan tersingkap suatu pengertian. Bedawang adalah kura-kura, "Nala" (Anala) dalam bahasa Sansekerta berarti api. Jadi pengertian dari Bedawang Nala ini sebenarnya tak lain adalah magma yang ada di dalam inti bumi.

Ada pun Anantaboga berasal dari dua kata yaitu "ananta" yang berarti "bermacam ragam dan tak ada habisnya", dengan "boga" yang berarti makanan. Jadi pengertian dari kata anantaboga sebenarnya adalah tanah (pertiwi/prativi) karena tanah tak pernah berhenti memberikan makanan, sehingga yang berada di atas tanah bisa tetap hidup.

Sedangkan Basuki, lambang dari air dan gunung, juga bisa diartikan keselamatan atau kehidupan. Apa yang bisa melahirkan kehidupan? Jawabannya air. Di mana ada air, maka di situlah sumber kehidupan.

Menurut tradisi tutur tinular (sejarah dalam bentuk tradisi lisan), jikalau Naga Anantabhoga bergeser akibat gerakan Bedawang Nala, maka akan menyebabkan linuh, lindu, atau gempa (tektonik). Namun bilamana gerakan Bedawang Nala begitu kuat, akan berakibat Naga Basuki ikut bergeser sehingga timbul bencana yang berhubungan dengan air (orang Jepang menyebutnya tsunami).

Para ilmuwan kiwari menjelaskan secara sederhana proses terjadinya gempa bumi akibat tumbukan antara lempeng bumi, patahan aktif, aktivitas gunung api, atau runtuhan batuan. Ketika lempeng bumi bertumbukan, tanah pun ikut berguncang. Kalau tumbukan itu terjadi di dasar laut dengan kekuatan di atas 6 SR dan kedalaman yang dangkal, air laut pun teraduk naik menjadi tsunami.

Bukankah penjelasan itu tak jauh beda dengan gambaran kisah Bedawang Nala di atas? Tidakkah kita kagum dengan ilmu-pengetahuan para leluhur Nusantara pada masa silam?

Mereka bahkan telah mengerti bahwa bumi ini mempunyai tujuh lapisan yang dijuluki Sapta Patala. Segaris lurus dengan para ilmuwan modern yang mengatakan bahwa bumi juga memiliki beberapa lapisan.

Nah, lapisan inilah yang kerap kali bergerak mencapai titik keseimbangan. Dalam upaya tercapainya titik keseimbangan ini, pasti akan ada perubahan, pergeseran, atau malah ada beberapa lapisan yang terhempas.

Karena manusia dan alam berasal dari unsur yang sama (air, api, tanah, udara), maka hukum keseimbangan itu harus setimbang. Manusia yang oleng pijakan kehidupannya, niscaya terlepas dari keselarasan alam. Ia akan rongseng sendiri dengan hidup yang sedang dijalaninya.

Kita baru membahas perkara gempa dan gunung meletus. Belum menyoal banjir bandang yang mulai sering terjadi, longsor, tanah bergerak (likuifaksi), dan tsunami. Dalam sejarah manusia modern, Aceh telah menjadi saksi bagaimana Samudera Hindia meluluh lantak urat nadi kehidupan manusia.

Intinya, bangsa Indonesia telah hidup berdampingan dengan pola kerja alam sejak dulu kala. Baik yang berskala lokal, maupun yang berdampak secara global dan turut mengubah alur sejarah—seperti letusan Gunung Toba, Tambora, serta Krakatau.

Kesadaran Kolektif

Dalam buku karangan Jeremy W Hayward, Letters to Vanessa: On Love, Science, and Awareness in an Enchanted World (Surat untuk Vanessa: Tentang Cinta, Sains, dan Kesadaran di Dunia Ajaib), terbitan 2 September 1997, terdapat sebuah kisah tentang fenomena memanggil hujan yang sangat aneh bagi masyarakat Barat.

Sosok pemanggil hujan tersebut adalah seorang kamitua dari salah satu suku Indian penduduk asli Meksiko, Huichol, yang bernama Don José Matsuwa. Kehidupan lelaki yang tilar (meninggal) pada usia 110 tahun ini, sebagian besarnya diselimuti legenda. Terutama berkaitan dengan kemampuannya mendatangkan hujan saat matahari sedang membakar bumi.

Saat menjelaskan proses pemanggilan hujan, ia mengatakan waktu itu mereka harus melakukan sebuah ritual pemberkatan. Sepanjang ritual tersebut, ia terus berdoa dengan sepenuh hati serta memancarkan cinta dan welas asih ke lima penjuru mata angin (Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah), lalu menyelaraskan kembali dirinya dengan lingkungan agar kembali seimbang.

Tak lama kemudian awan kelabu pun mulai berkumpul dan dalam beberapa jam kemudian, hujan lebat pun turun.

Masih di buku yang sama, Jeremy juga menukil ritual meminta hujan yang berasal dari dunia Timur. Kisah tersebut diceritakan oleh ahli sinologi yang berasal dari Jerman, Richard Wilhem kepada pakar psikologi terkenal yaitu Carl Gustav Jung—pada awal abad-21.

Richard pernah menetap di Tiongkok selama dua dasawarsa. Selama itulah ia kerap bepergian ke seluruh pelosok Negeri Tirai Bambu.

Suatu ketika ia tiba di sebuah desa, di Provinsi Shandong. Di sana sedang dilanda kekeringan parah dan telah menelan banyak korban jiwa. Penduduk desa mencari berbagai cara lalu mereka berhasil memohon seorang kakek tua bijak bestari di sebuah gunung, untuk meminta hujan bagi desa mereka.

Richard melihat sosok kakek itu, yang berjenggot abu-abu. Masyarakat menandu sang kakek menuju ke sebuah gubuk kayu di luar desa, lalu meninggalkannya di sana. Setelah itu tak seorang pun mengusiknya. Mereka juga tidak tahu apa yang dilakukannya dalam gubuk itu. Tiga hari kemudian, hujan pun turun sesuai harapan, bahkan pada saat yang sama, turun pula salju tipis.

Melihat pemandangan seperti itu, Richard merasa sangat terkejut. Seumur hidupnya, baru kali itulah ia melihat orang yang dapat memanggil hujan di tengah kekeringan yang luar biasa menyiksa. Maka ia pun pergi ke gubuk itu untuk menjumpai orang tua tersebut.

Namun ketika Richard bertanya soal hujan, orang tua itu malah berkata, “Aku tidak pernah memanggil hujan. Terjadinya kekeringan adalah karena tanah ini dan orang-orang di atasnya sudah tidak berada dalam Tao.”

Bagi peradaban Tiongkok, Tao adalah kebenaran dari seluruh jagat raya. Oleh karena itu, Tao boleh juga dikatakan aturan universal.

Pada saat sang kakek baru tiba di desa itu, dirinya pun terpengaruh oleh para penduduk. Pikirannya mulai ikut menjadi kacau-balau. Maka ia membutuhkan waktu tiga hari untuk membuat dirinya pulih normal kembali.

Sambil menyungging senyum pada Richard, Kakek tersebut pun berkata lagi, “Kemudian dengan sendirinya, hujan pun turun.”

Bagi Richard, perkataan kakek tua itu terkesan samar, tapi alam dengan sangat mudah memahaminya. Inilah yang disebut dengan istilah, ‘langit dan manusia menyatu dalam pemikiran Tiongkok. Manusia dan alam adalah satu kesatuan yang utuh.

Maka dari anekdot itu, mari kita coba menyelesaikan akar permasalahan lingkungan dan alam, yang sebenarnya bersumber pada membenahi diri sendiri. Pemikiran seperti ini juga digali dengan sangat baik dalam berbagai kebudayaan lain oleh para ahli alkimia di dunia Islam awal dan Barat abad pertengahan, yang mengatakan aturan segala materi di langit dan Bumi terletak pada tubuh manusia.

Di Indonesia hingga hari ini, masyarakat penghayat kebudayaan luhur sangat meyakini pesan berikut: jangan biarkan amarah pada dirimu terlontar keluar, karena tubuh manusia adalah miniatur dari langit dan bumi.

Jika Anda menjaga tubuh dengan baik, itu berarti Anda telah menjaga keselarasan langit dan bumi. Inilah yang kemudian disebut sebagai Manusia Kosmik.

Dengan kata lain, alam sebenarnya tak mengenal kata bencana, apalagi disebut murka. Malah sebaliknya, alam begitu penyayang pada sesamanya. Seluruh gerak-geriknya hanya upaya menyeimbangkan diri demi kepentingan semua makhluk hidup yang bergantung padanya.

Secara logika, jika memang alam mulai tak seimbang, bukankah yang bisa menyeimbangkan adalah dirinya semata?

Sebagai ibu dari peradaban manusia, alam raya ini harus kita akrabi dan sayangi, sehingga manusia pun diperlakukan dengan cara yang sama oleh alam. Namun kalau manusia sudah angkuh menentang alam, maka alam tetap bekerja dengan caranya sendiri. Di situlah letak perbedaan manusia tercerahkan dengan orang yang belum mawas diri.

Dalam dunia orang yang belum tercerahkan, ia merasa waktu di dunia selamanya tidak berubah. Bagi manusia tercerahkan, segalanya fana, tidak bisa diucapkan, tak boleh diucapkan, tak perlu diucapkan. Kehidupan manusia tercerahkan, sudah melampaui fakta hidup orang biasa.

Manusia tercerahkan, hidup dalam kenyataan dan menyempurnakan, namun bukan berarti tiada kekurangan. Sempurna itu saling melengkapi antara: kekurangan-kelebihan, benar-salah, kejahatan-kebaikan, ya dan tidak, semua satu lagi menyatu.

Serupawan apa pun seseorang, dia kan tetap sama. Bagaikan bunga, seindah apa pun tetap tak bisa dipisahkan dari tanah. Begitulah kesempurnaan. Tidak kotor, juga tidak bersih.

Manusia paripurna takkan mengomel, mengeluh, memiliki keinginan, tidak melekat pada apa dan siapa saja, karena hatinya tenang lagi tenteram. Ia hanya melakukan yang seharusnya dilakukan walau dalam situasi sulit. Inilah kebijaksanaan membina diri mengikuti Kehendak Langit.

Kita perlu menumbuhkan kesadaran kolektif sebagaimana kami terangkan di atas, agar kita tak mudah tercerabut dari akar kebudayaan sendiri selaku anak kandung Negeri Bahari: tanah keramat yang menjadi saksi tumbuh kembang ragam kebudayaan, ribuan bahasa, puluhan aksara, kecanggihan metalurgi, serta kedalaman dan keluhuran pencapaian derajat kemanusiaan.

Cinta, welas asih, keseimbangan jiwa-raga, dan kesadaran manunggaling sejati, kini seperti harta karun peradaban bangsa Nusantara yang tak lagi menarik untuk ditemukan. Laksana api dalam kayu. Ada tapi tak diketahui, begitulah. Jikalau kita tak segera memutar haluan dari sekarang, niscaya jurang kehancuran sedang menanti di hadapan kita.

Pada abad-14 M di Wilwatikta, Mpu Prapanca dalam geguritan Nirarthaprakreta pupuh enam baris kedua, menulis, “Ri henenikanan ambek tibralit mahenin aho. Lenit aticaya syunya jnyananasyraya wekasan. Swayen umibeki tan ring rat mwan deha tuduhana. Ri panawakina san hyan tatwadhyatmika katemu".

(Manakala batin telah hening, menjadi sangat halus, sangat suci dan cemerlang, maka hilanglah segala personalitasnya dan menjadi kosong belaka. Alhasil kesadaran sejati timbul, serta-merta meliputi seantero dunia. Pada waktu Sang Hyang Tatwa (Kenyataan/Kesadaran Paripurna) menyatu dengan seseorang, maka bertemulah dia dengan Ruh Tertinggi (Adyatmika = Paramatma).

Hong. Hurip hayu hayom hayêm hèstu. Memayu hayuning diri. Memayu hayuning sesami. Memayu hayuning bawono. Memayu asah asih kinasih. Rahayu.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/12/06/103639765/indonesia-negeri-muskil-di-jantung-peradaban-dunia

Terkini Lainnya

Mengapa Burung Tidak Mempunyai Gigi? Berikut Penjelasannya Menurut Sains

Mengapa Burung Tidak Mempunyai Gigi? Berikut Penjelasannya Menurut Sains

Tren
Pidato Prabowo Usai Ditetapkan Menjadi Presiden Terpilih 2024-2029

Pidato Prabowo Usai Ditetapkan Menjadi Presiden Terpilih 2024-2029

Tren
Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Kapan Prabowo-Gibran Dilantik?

Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Kapan Prabowo-Gibran Dilantik?

Tren
Kepada Anies dan Muhaimin, Prabowo: Saya Pernah di Posisi Anda

Kepada Anies dan Muhaimin, Prabowo: Saya Pernah di Posisi Anda

Tren
Mengenal Hutan Hujan dan Mengapa Keberadaannya Sangat Penting bagi Masyarakat Global

Mengenal Hutan Hujan dan Mengapa Keberadaannya Sangat Penting bagi Masyarakat Global

Tren
Rekrutmen Bersama BUMN 2024, Peserta Hanya Bisa Unduh Safe Exam Browser via Laptop

Rekrutmen Bersama BUMN 2024, Peserta Hanya Bisa Unduh Safe Exam Browser via Laptop

Tren
Jejak Prabowo di Pilpres, Akhirnya Jadi Presiden Usai 3 Kali Kalah

Jejak Prabowo di Pilpres, Akhirnya Jadi Presiden Usai 3 Kali Kalah

Tren
Wacana Iuran Pariwisata Melalui Tiket Penerbangan, Akankah Tarif Pesawat Akan Naik?

Wacana Iuran Pariwisata Melalui Tiket Penerbangan, Akankah Tarif Pesawat Akan Naik?

Tren
Prabowo-Gibran Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

Prabowo-Gibran Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

Tren
Sejarah Olimpiade yang Saat Ini Jadi Kompetisi Olahraga Terbesar di Dunia

Sejarah Olimpiade yang Saat Ini Jadi Kompetisi Olahraga Terbesar di Dunia

Tren
Viral, Video Perempuan Paksa Minta Uang ke Warga, Ini Kata Sosiolog

Viral, Video Perempuan Paksa Minta Uang ke Warga, Ini Kata Sosiolog

Tren
Profil Chandrika Chika, Selebgram yang Terjerat Kasus Narkoba

Profil Chandrika Chika, Selebgram yang Terjerat Kasus Narkoba

Tren
Siomai dan Pempek Jadi Jajanan Kaki Lima Terbaik Dunia 2024

Siomai dan Pempek Jadi Jajanan Kaki Lima Terbaik Dunia 2024

Tren
Mengenal Apa Itu Lemak, Berikut Manfaat dan Pengaruh Negatifnya

Mengenal Apa Itu Lemak, Berikut Manfaat dan Pengaruh Negatifnya

Tren
Memahami Gugatan PDI-P atas KPU ke PTUN, Bisa Pengaruhi Hasil Pemilu 2024?

Memahami Gugatan PDI-P atas KPU ke PTUN, Bisa Pengaruhi Hasil Pemilu 2024?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke