Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Budaya Baca Mendorong Kemederkaan Berpikir

Budaya mediamorphosis ketiga atau budaya lisan kedua adalah budaya televisi atau budaya nonton. Mediamorphosis pertama adalah budaya lisan, yang diikuti munculnya budaya baca dan tulis sebagai mediamorphosis kedua, selanjutnya adalah era televisi sebagai mediamorphosis ketiga.

Meskipun menurut beberapa pengamat komunikasi, sebenarnya kita tidak pernah berada pada budaya baca dan tulis, tetapi dari budaya lisan pertama langsung menuju ke budaya lisan kedua.

Menurut Frederik Gasa, mediamorfosis meliputi tiga babak besar yaitu: spoken language, written language, dan digital language. Spoken language berkaitan dengan bagaimana seseorang tergabung dalam kelompok sosial tertentu, bagaimana mengasah kemampuan menyelesaikan masalah, dan berkembangnya storytelling.

Written language ditandai dengan berkembangnya budaya media massa dan printed era. Kemudian digital language berkaitan dengan berkembangnya mediated communication dengan ciri kolaborasi penggunaan komputer dan media digital lainnya dengan pola komunikasi manusia (https://binus.ac.id/).

Salah satu prinsip utama mediamorfosis adalah konvergensi. Media digital memungkinkan dan merangsang perkembangan media modern: konvergensi telekomunikasi, komunikasi data, dan komunikasi massa.

Konvergensi melahirkan media platform baru – menjadi legacy mediamorfosis. Seiring dengan media sosial yang menjadi candu masyarakat modern, peradaban manusia berada pada fase baru: digitalisasi.

Setiap hari, aktivitas manusia diawali dan diakhiri dengan mengecek handphone. Hampir setiap jam, seseorang akan mengabarkan kepada dunia makanan apa yang disantapnya, tempat mana yang didatanginya, lagu apa yang sedang dimainkannya hingga curhat tentang masalah keluarga yang sebenarnya menjadi domain privat.

Kekhawatiran melanda manakala kebiasaan ini kelak menjadi budaya. Orang akan cenderung memerhatikan virtual identity-nya dan acuh terhadap dunia nyata.

Sihir televisi dan media sosial

Oleh media sosial, dunia budaya kita seakan-akan dibawa untuk menjelma menjadi sebuah dunia atau lingkungan baru, tempat kita seakan disihir untuk tiada henti bersosialisasi dengan makna-makna dan nilai-nilai kehidupan yang baru. Sebuah dunia pasca-modern atau sebuah abad media sosial yang selalu mengotbahkan janji-janji akan impian manusia.

Tujuh puluh tujuh tahun Indonesia merdeka adalah the age of television, ketika televisi telah menjadi kotak ajaib yang membius para penghuni rumah-rumah anak bangsa. Penelitian ilmiah pun semakin menunjukkan bahwa frekuensi dan lama menonton televisi anak-anak jauh lebih tinggi dibandingkan frekuensi mereka membaca dan belajar.

Itu berarti bahwa proses sosialisasi anak akan lebih besar dipengaruhi isi siaran televisi daripada petuah guru atau orangtua. Budaya nonton telah menjauhkan anak-anak dari realitas keseharian mereka.

Anak-anak mungkin merasa gelisah berada di kelas, mereka menanti-nanti habisnya jam pelajaran sehingga bisa segera menikmati acara kesayangan mereka di televisi.

Tugas dunia pendidikan

Kini, tugas dunia pendidikan kita adalah memerdekakan anak didik dari realitas semu yang mereka dapatkan dari dunia tontonan dan medsos. Guru harus menggugah kesadaran anak untuk kembali ke budaya baca dan tulis dengan mendorong mereka membaca buku sebanyak-banyaknya.

Buku adalah pedoman dan tuntunan untuk mendapatkan informasi yang berguna sehingga mendorong peningkatan kecerdasan. Maka sangatlah baik jika gagasan beberapa guru yang ingin mengembalikan kemerdekaan berpikir siswanya dengan memulai mentradisikan budaya membaca melalui program silent reading setiap pagi sejak pukul 07.00 hingga 07.30.

Kebiasaan membaca membuat anak menjadi imajinatif, kreatif, dan merdeka dengan pilihannya sendiri. Tradisi membaca inilah yang tidak pernah digarap secara serius oleh sekolah manapun.

Para profesional seperti Theodor P Rachmat dan fisikawan Johanes Surya sangat menganjurkan pemasyaratan budaya baca. Anak-anak yang biasa-biasa saja kelak akan tampil menjadi luar biasa bila sejak dini di sekolahnya dibiasakan membaca. Beberapa tahun lagi anak-anak bangsa kita pasti akan menikmati pemerdekaan dirinya melalui membaca.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/20/070000065/budaya-baca-mendorong-kemederkaan-berpikir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke