Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Metaverse, Saat Manusia Kelak Tak Mampu Menghadapi Kenyataan

ADALAH Louis Rosenberg yang secara tegas nan kritis melontarkan pernyataan menohok bagi kita semua: akankah hadirnya metaverse akan menjadi akhir dari realitas kita bersama?

Dideklarasikannya Meta sebagai nama baru Facebook membuat gegap-gempita jagad maya maupun dunia nyata. Beragam pandangan dilontarkan menanggapi keputusan Mark Zuckerberg sang pendiri Facebook.

Banyak tayangan bertebaran di kanal YouTube menanggapi hal tersebut, entah untuk menggaet likes and subscribes ataupun sungguh menanggapinya secara serius dan ilmiah.

Hingga akhir November 2021 ini, kanal official YouTube milik Meta telah ditonton lebih dari tiga juta insan dunia! Belum lagi terhitung kanal-kanal lain yang tayang di beragam media sosial guna membahas masa depan metaverse.

Banyak perdebatan sengit yang sedang berlangsung tentang batasan atau lebih tepatnya kekurangan maupun kebermanfaatan dari teknologi baru ini.

Menyimak dan mempertimbangkan aneka perdebatan itu, Louis Rosenberg, ilmuwan komputer yang mengembangkan sistem AR (augmented reality) fungsional pertama, telah memperingatkan bahwa AR bisa jauh lebih buruk daripada media sosial.

Menurutnya, AR dan metaverse bertujuan untuk menyajikan konten dalam bentuk yang paling alami alias sangat-sangat mirip dengan realitas hakikinya.

Konsekuensi logis yang paling mungkin terjadi adalah metaverse alias jagad virtual yang dioperasikan melalui piranti AR atau VR bakal mengubah rasa realitas kita dengan menafikan batasan-batasan dalam pikiran kita serta mendistorsi cara kita menafsirkan realitas sehari-hari sebagaimana diungkapkan dalam artikel Rosenberd di Big Think 25 November 2021 lalu.

Sebagai informasi, Rosenberg adalah ilmuwan yang mengembangkan sistem AR pertama yang berfungsi penuh untuk melatih pilot Angkatan Udara Amerika Serikat pada 1992 secara simulatif sebelum secara riil menerbangkan pesawatnya.

Saat itu dia sudah meyakini AR akan segera menjadi pusat semua aspek kehidupan.  Pada satu titik nanti manusia tidak ingin melepas kacamata AR-nya. Sebab, jika melepas AR ia akan dirugikan secara sosial (dalam jejaring maya tentunya), ekonomi, dan intelektual.

Pemahaman sejak dini inilah yang membuat Rosenberg khawatir. Terlebih, jika AR kelak berkelindan dengan media sosial yang kini tengah dikembangkan Facebook. Zuckerberg menargetkan metaversenya akan terbangun dalam lima tahun.

Secara pribadi, Rosenberg mengaku bahwa hal itu cukup menakutkan. AR pada dasarnya akan mengubah semua aspek kehidupan masyarakat di masa depan dan tidak selalu dengan cara yang baik.

Hal ini dilandasi pemahaman bahwa media sosial secara canggih bakal kian memanipulasi realitas pengguna dengan menyaring apa yang boleh dilihat dan dinikmati.

Dengan demikian, pada gilirannya, setiap pengguna akan bergantung pada perusahaan yang menyediakan dan memelihara lapisan teknologi yang tak terhitung jumlahnya yang ada di antara kehidupan sehari-hari sebagai realitas riil (kasunyatan) dengan realitas virtual yang disajikan.

Tentu saja kita tidak bisa menutup mata akan hal-hal positif yang bakal dihadirkan melalui metaverse. Teknologi ini akan memungkinkan ahli bedah bekerja lebih cepat dan akurat.

Pekerja konstruksi, insinyur, ilmuwan lain juga akan beroleh manfaat. Industri hiburan dan pendidikan pun akan direvolusi dalam cara-cara yang tak terbayangkan.

Tak berlebihan bila kita tandaskan bahwa batas antara manusia, mesin, dan sumber daya lainnya menjadi makin konvergen melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Dunia telah dipenuhi imitasi, duplikasi, kode, simbol, dan permainan bebas tanda yang mengambang dan semakin kompleks.

Hiper-realitas

Apa yang selama ini diwacanakan oleh Jean Baudrillard dalam konsepnya tentang hyperreality dan simulacrum alias simulakra menjadi nyata dan operatif dalam keseharian kita.

Hiper-realitas selama ini adalah suatu gagasan bahwa gambar di dalam layar kaca terasa lebih nyata daripada realitas fisik.

Sedangkan, strategi simulakra (simulasi realitas) memungkinkan realitas aktual untuk digeser, bahkan digantikan oleh realitas semu, duplikasi, kedangkalan dan kepura-puraan.

Simulasi, menurut Baudrillard, adalah tahap simulacrum saat ini: semua terdiri dari referensi tanpa referensi; suatu hiper-realitas.

Kita seyogyanya ingat bahwa teknologi apapun wujudnya tidak bebas nilai, tidak netral, merujuk pada perubahan pengalaman manusia yang terjadi akibat penggunaan teknologi.

Teknologi juga membentuk "subjektivitas" dari penggunanya dan "objektivitas" dunianya. Dapat diambil contoh kecil tatkala ultra sonografi membentuk pengalaman dan ekspektasi ibu yang sedang hamil terhadap kondisi kandungannya.

Realitas virtual

Tak berlebihan apa yang pernah dipaparkan filsuf Don Ihde bahwa penggunaan teknologi mengubah persepsi manusia mengenai ruang dan waktu. Demikian halnya dengan jagad realitas virtual.

Virtual sering didefinisikan sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan. Ideal menjadi kata kunci di sini. Virtual adalah ideal, kualitatif, dan bersifat normatif dalam hubungannya dengan eksistensi manusia yang bersifat aktual.

Akan tetapi virtual sendiri adalah tidak aktual. Pada dasarnya virtual sering dimaksudkan untuk menandai suatu ketiadaan, sesuatu yang tidak nyata, atau non-eksistensial.

Virtual adalah ketiadaan atau kelebihan dan kekurangan yang tidak bisa dipresentasikan secara faktual konkret.

Dalam pengertian Lacan, virtual bukanlah bentuk nyata. Virtual adalah aktualitas yang tidak dapat direpresentasikan sebagai sebuah ketidak-hadiran penuh.

Di samping itu virtualitas juga menawarkan dirinya sebagai ruang yang terdeteritorialisasi untuk melarikan diri dari norma-norma ataupun batasan-batasan realitas sosial yang timbul dikarenakan ko-eksistensi bersama individu lain.

Virtualitas game, misalnya, memungkinkan user mengalami sebuah ruang dan waktu yang baru, realitas yang baru, yang sama sekali terputus dari realitas konkret atau kehidupan keseharian.

Dalam sudut pandang Don Ihde di atas, individu tersebut bisa jadi kurang mampu bersosialisasi di dunia nyata. Ia memilih "bersembunyi" di balik layar komputer. Lebih mudah baginya mengelola dunia maya ketimbang dunia nyata.

Ruang virtual akhirnya menjadi tempat pelarian. Kelak, eskapisme virtual yang bakal marak dan nyaris sempurna akan sungguh-sungguh menjadi realitas sepenuhnya manusia.

Segenap elemen bangsa perlu memikirkan secara integratif segenap aspek terkait keberadaan metaverse yang tak terbendung agar kita tak menjadi konsumen adiktif belaka.

Kaum muda yang masih rapuh secara kepribadian berpotensi menjadi mangsa empuk pemain global yang memanfaatkan metaverse sebagai piranti penggaet konsumen belaka tanpa hirau aneka dampak negatifnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/11/30/210802665/metaverse-saat-manusia-kelak-tak-mampu-menghadapi-kenyataan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke