Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

6 Tanda Anda Mengalami Trauma karena Pandemi dan Cara Mengatasinya

Selama hampir dua tahun, orang-orang telah mengalami banyak kesedihan, bahkan kehilangan orang-orang yang dikasihinya akibat Covid-19. Hampir 5 juta orang meninggal dunia karena Covid-19. 

Tidak sedikit yang kehilangan pekerjaan dan tidak stabil secara finansial.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pandemi telah menyebabkan trauma massal dengan skala yang lebih besar daripada Perang Dunia II.

Trauma inilah yang oleh beberapa profesional medis disebut gangguan stres pascapandemi atau Post Pandemic Stress Disorder (PPSD).

“Kami sekarang berada di tengah-tengah trauma kolektif dan kompleks yang sedang berlangsung, tidak dapat diprediksi, dan tidak memiliki akhir yang jelas,” kata asisten profesor dan co-direktur Pusat Trauma dan Gangguan di Universitas Case Western Reserve, Jennifer King, mengutip Huffpost, 22 Oktober 2021.

Bukti menunjukkan bahwa pandemi dan semua kesedihan selama isolasi memicu stres traumatis yang menyebabkan jenis gejala mirip post-traumatic stress disorder (PTSD).

Penelitian dari Universitas Case Western Reserve menemukan bahwa 85 persen partisipan mengalami setidaknya satu gejala stres pascatrauma pada tahun 2020 dan awal tahun 2021.

Orang yang mengalami trauma bisa jadi tidak menyadarinya, karena pandemi masih terjadi hingga kini.

6 tanda mengalami trauma karena pandemi

Untuk mewaspadainya, berikut 6 tanda Anda mengalami trauma karena pandemi:

Salah satu gejala trauma yang sangat menonjol adalah kewaspadaan yang berlebihan. Karena semua energi terfokus pada kelangsungan hidup, kewaspadaan berlebihan dapat menyebabkan sulit konsentrasi dan fokus.

“Kamu selalu gelisah. Hal-hal kecil membuat Anda takut, Anda bereaksi sangat tidak rasional terhadap hal-hal yang sangat, sangat kecil,” kata Tamar Rodney, asisten profesor di Johns Hopkins School of Nursing yang berspesialisasi dalam trauma dan psikiatri.

Contoh paling nyata dari kewaspadaan berlebihan adalah merasa sangat cemas dan sensitif terhadap batuk dan bersin.

Ketika tubuh ada dalam mode tegang atau waspada, seperti yang mereka lakukan selama mengalami kejadian traumatis, manusia mengerahkan banyak energi. Wajar saja jika kita merasa energi terkuras secara fisik dan mental.

"Ini sangat terkait dengan hidup dan diinkubasi dalam trauma kolektif dan stres kolektif yang terjadi," kata King.

Melansir Vogue, 1 Juli 2021, seorang psikolog dr. Justine Grosso mengatakan, sangat penting untuk memeriksa diri sendiri dan menyadari perubahan fisiologi, emosi, pikiran dan perilaku karena kesehatan fisik dan emosional sangat berhubungan.

Trauma tidak hanya mengubah pikiran, seperti keyakinan dan pola pikir, tetapi juga otak, sistem saraf, dan hormon stres.

Beberapa orang bahkan mengembangkan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Ini terjadi karena harga diri mereka mungkin terpukul akibat kejadian traumatis yang mereka alami.

Seorang psikoterapis Owen O'Kane mengatakan, trauma bisa ditandai dengan kecemasan yang meningkat, motivasi rendah, merasa putus asa atau tidak berdaya.

Selain itu, tidur terganggu, perubahan nafsu makan, mati rasa, menjadi mudah marah atau jengkel, memikirkan hal negatif, dan menarik diri dari kehidupan sosial.

Seiring waktu, stres dan trauma akan mengakibatkan penurunan fungsi kekebalan tubuh, seiring dengan peningkatan ketegangan dan rasa sakit di seluruh tubuh.

Rasa sakit fisik itu muncul melalui berbagai cara, misalnya migrain dan sakit kepala, masalah pencernaan, tekanan darah tinggi, sakit punggung, atau nyeri sendi.

Mereka mengalami berbagai macam gangguan tidur, misalnya insomnia, tiba-tiba terjaga saat tidur, bahkan mengalami mimpi buruk. Sekitar 91 persen orang dengan PTSD memiliki gangguan tidur.

Gangguan tidur sering diabaikan, tetapi bisa memengaruhi semua yang kita lakukan. Tidur mengatur ulang pikiran dan tubuh, dan kurang tidur benar-benar bisa mengganggu kualitas hidup dan keseharian kita.

Ada perbedaan besar antara menjaga jarak secara fisik, dengan menjaga jarak secara sosial. Namun, beberapa orang terjebak di antara keduanya.

Sundas Pasha, seorang psikolog klinis yang berbasis di California, sangat merekomendasikan terapi bagi orang-orang yang mengalami trauma karena pandemi.

“Banyak praktisi telah mempersiapkan mekanisme dan strategi penanggulangan untuk membantu mereka yang bekerja melalui akibat dan dampak pandemi. Kami masih jauh dari mengatasi dampak kesehatan mental tahun lalu, tetapi memiliki tempat untuk membicarakannya dan mengatasi masalah atau perjuangan apa pun adalah cara yang bagus untuk kembali ke jalur semula," kata dia.

Patut diingat bahwa mengalami gangguan psikologis, terutama setelah melalui peristiwa kehidupan yang traumatis bukanlah hal abnormal.

Ketika beberapa negara mulai melonggarkan pembatasan kegiatan, peneliti ilmu saraf Mithu Storoni menyarankan agar orang-orang mulai bersosialisasi dengan teman-teman untuk saling berbagi hal optimis dan positif.

Untuk meningkatkan ketahanan, kinerja mental, dan fokus, Storoni juga menyarankan untuk menciptakan sebanyak mungkin struktur, keteraturan, dan kepastian di sekitar Anda.

Artinya, komunikasi dan transparansi yang jelas baik di rumah maupun di tempat kerja.

Cara lain yang bisa jadi pilihan yakni mempertahankan rutinitas atau melakuan kegiatan baru, berolahraga setiap hari, menikmati pemandangan alam, mengutamakan kualitas tidur, atau bahkan memulai proyek baru.

Dengan demikian, perasaan aman dan terlindungi bisa menjadi salah satu cara meminimalkan situasi stres.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/10/25/133000065/6-tanda-anda-mengalami-trauma-karena-pandemi-dan-cara-mengatasinya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke