Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar Filsafat dari Para Anjing

Naskah How to Learn Philosophy From My Dog (Kompas.com 3 Oktober 2021) memperoleh tanggapan dari berbagai pencinta anjing. Berikut saya nukilkan kisah dari Titus Tri Wibowo dan Hendra Gunawan.

Budayawan Titus Tri Wibowo 

Saya pernah memiliki 21 ekor anjing. Semua didapat dari menemukan atau diberi teman yang sudah bosan.

Bahkan ada yang dibuang di depan rumah oléh orang yang mungkin tahu saya menampung anjing-anjing.

Tiga anak anjing golden retriever tengah malam menangis dan saya memungutnya.

Anjing pertama saya pungut dari seorang teman yang berdinas di DKK. Teman saya memberitahu ada anjing kesasar di kantornya.

Si bronnie (saya namakan begitu) adalah pincer coklat menjadi teman Si Igin dan Si Moni peninggalan ibu saya.

Banyak jenis akhirnya menjadi teman saya. Mulai dari poedel, terier, hingga black flatcoat. Terakhir adalah Si Nayla, pom dari Mas Benny.

Pengalaman saya belajar filsafat dari mereka enggak béda jauh dengan pengalaman Jaya Suprana belajar filsafat dari Si Ceko.

Ekolog Prof Hendra Gunawan 

Saya pernah memiliki anjing hingga 10 ekor. Ada 4 yang paling lama dan sangat dekat yaitu Chiki (sejenis peking).

Chiko (seperti pemburu dengan warna kulit merah, mata merah dan badan ramping), Brino (berbadan besar dengan banyak rambut dari kepala hingga ekor), dan Kapuk (kulitnya putih bersih seperti kapuk, ekor berambut lebat, badan ramping).

Maaf, saya tidak tau soal ras anjing. Sebenarnya jauh sebelumnya, tahun 1970-an kami orang desa sudah akrab dg anjing sebagai kawan bekerja di ladang dan penjaga rumah.

Dulu kami hanya mengenal anjing kampung yang kulitnya memiliki banyak pola warna namun rambutnya tidak lebat.

Nama-namanya pun nama kampung seperti Polang, Wage, Kkliwon, dan Comong. Ketika ada film Rin Tin Tin dan film lain di TVRI, saya mencoba memberi nama anak anak anjing kami yg baru lahir dengan nama lebih keren seperi Rintintin, Joe, Jims, dan West.

Sekarang di kampung kami sudah tidak ada yang pelihara anjing. Keluarga saya di kampung pun sudah tidak pelihara anjing.

Mungkin ada perubahan persepsi terjadap anjing atau memang sudah tidak dibutuhkan lagi, mengingat memelihara anjing kala itu gunanya untuk mengusir babi hutan, berburu tikus atau mengusir garangan yang akan memakan ayam. Juga untuk menjaga rumah yang kala itu masih gelap gulita.

Ketika babi hutan, tikus, dan garangan tidak ada dan tidak menjdi hama, maka peran anjing sudah tidak dibutuhkan lagi.

Juga ketika kampung sudah terang benderang, peran penjaga rumah dengan mata tajam dan penciuman tajam sudah tidak dibutuhkan lagi.

Kami tidak menjual atau membuangnya. Mereka berangsur berkurang karena mati tua dan tidak ada keturunannya lagi.

Seperi Kapuk yang meninggal ketika tiduran di bawah mobil truk pengangkut gula kelapa yg sedang parkir di depan rumah kami. Ketika mobil berangkat, Kapuk tak menyadarinya, dan sungguh mengerikan akibatnya.

Kami menguburnya dengan layak di bawah pohon kedondong di kebun kami. Brino pasangannya kala itu ikut melolong menangis.

Selanjutnya, Brino tetap setia ikut kami. Kalo saya pulang dari Bogor (kuliah) Brino menyambut dengan suka cita. Dia menyimak kalo saya ngobrol kangen-kangenan dengan bapak atau ibu.

Ketika saya bilang ke Ibu, kalau saya mau ziarah ke makam kakak, Brino sudah lari duluan di depan menuju makam kakak. Dia seolah ingin menjadi pembuka jalan atau penunjuk jalan, padahal saya naik motor karena jaraknya lumayan jauh.

Heran, kok dia tahu kalau saya mau ke makam? Padahal dia hanya menyimak obrolan kami.

Tahun demi tahun terus berlalu, Brino pun memasuki usia senja. Rambutnya rontok. Mulai banyak koreng. Reaksinya lamban. Badannya jorok.

Mula-mula dia dilarang masuk rumah. Wilayah kerjanya hanya di luar rumah dan kebun. Jika masuk rumah biasanya diusir.

Suatu hari Brino mencoba mendekat ke kami. Tak ada dari kami yang mau menerimanya. Semua mengusirnya menjauh.

Rupanya Brino sedih, merasa sudah tidak dibutuhkan. Dia pun diam-diam pergi dari rumah dan tidak kembali lagi. Kami pun merasa tidak kehilangan, bahkan merasa hilang beban.

Beberapa hari kemudian ada seseorang melapor ke kami. Dia melihat Brino sendiri seperti bingung mondar-mandir di tepi sungai.

Kemudian secara tiba-tiba Brino menceburkan diri ke sungai yang dalam dan berarus deras itu. Ia hilang ditelan aliran sungai. Mungkinkah Brino bunuh diri?

Maafkan kami Brino. Semoga kau damai di sana. Kebaikanmu akan terus kami kenang.

Demikian kisah nyata kami belajar filsafat dari Brino.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/10/05/094717565/belajar-filsafat-dari-para-anjing

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke