Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sanksi Menolak Vaksinasi: Tidak Dapat Bansos hingga Penghentian Layanan Administrasi

KOMPAS.com - Indonesia sedang menggalakkan program vaksinasi Covid-19 yang dimulai sejak pertengahan Januari 2021 lalu.

Pemberian vaksinasi dimulai dari Presiden Joko Widodo pada 13 Januri 2021 diikuti pejabat negara juga tokoh masyarakat.

Kemudian dilanjutkan dengan kelompok prioritas seperti tenaga kesehatan, anggota TNI/Polri, lansia, pelayan publik, dan seterusnya.

Kewajiban vaksinasi

Selanjutnya, setiap orang yang telah terdata dan menjadi sasaran vaksinasi memiliki kewajiban untuk melakukan vaksinasi. 

Kewajiban itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

Pada Pasal 13A ayat (3) disebutkan kewajiban ini gugur bagi mereka yang secara medis dinyatakan tidak layak menerima vaksin sesuai dengan indikasi yang tersedia.

Misalnya memiliki komorbid tertentu, usia tidak sesuai kriteria, dan sebagainya.

Sementara bagi mereka yang memenuhi kriteria, telah ditetapkan sebagai penerima, namun menolak untuk menerima vaksin, maka ada sejumlah sanksi yang akan diberikan. 

Sanksi menolak divaksin

Sanksi tersebut tertuang dalam pasal yang sama di Perpes 14/2021, tepatnya di ayat (4), bunyinya adalah sebagai berikut:

"Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
b. Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau
c. Denda". 


Penjara hingga denda

Di pasal selanjutnya, yakni Pasal 13B, orang-orang tersebut yang pada akhirnya menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19 juga dapat dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Pada Pasal 14 UU 34/1984, mereka yang dengan sengaja menghalangi penanggulangan wabah, diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda paling tinggi Rp1 juta.

Sementara apabila hal itu terjadi atas dasar kelalaiannya, maka yang bersangkutan akan dikenai sanksi penjara maksimal 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp500 ribu.

Sejumlah wargnet merespons unggahan tersebut, berikut di antaranya: 

"Aku malah pingin tapi selalu saja full," kata akun @the_chill8. 

"Kalau menolak vaksin suntik sampai menunggu ada vaksin tablet atau kapsul masa iya di sangsi juga?," ujar @angga_yudha88. 

"Bukan saya yang nolak, tpi saya yg d tolak sama puskesmas, pdhl jelas² status saya bpjs saya jkn pbi-apbd eh d tolak dgn alasan tdk ad di data," ungkap @fellafransisca.

Ada juga yang menolak adanya aturan tersebut, seperti akun @leopart_2607. 

"Tubuhku bukan properti pemerintah," tulis dia. 

Termasuk memberikan kritik seperti yang diungkapkan @yogi.ismail89. 

"Buat rakyat kecil apa-apa ada sanksi," ungkap dia. 


Kata Komnas HAM

Terkait kebijakan tersebut, dikutip dari Kompas.com (18/2/2021), Wakil Ketua Komnas HAM Hariansyah mengatakan, dalam perspektif HAM, pembatasan HAM memang dapat dimungkinkan.

Terlebih apabila kebijakan itu berkaitan dengan hak atas kesehatan dan keselamatan publik.

"Sehingga setiap orang dilarang untuk menolak program vaksin dari negara karena terkait dengan kesehatan dan keselamatan orang banyak," kata Hariansyah. 

Meski demikian, menurut dia, pemerintah harus memastikan edukasi kepada masyarakat, transparansi informasi jaminan atas keamanan, dan kehalalan dari vaksin Covid-19. Pemerintah juga disarankan mengedepankan tindakan persuasif dan denda saja.

"Sanksi pidana upaya terakhir uktimum remedium setelah segala upaya persuasi dan denda atau kerja sosial telah dilakukan dan tentu bersifat sangat selektif penerapannya," kata dia.

Hariansyah menjelaskan, salah satu prinsip siracusa terkait pembatasan HAM adalah pembatasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang.

"Sekali lagi terkait dengan sanksi pidana mengingat salah satu rekomendasi Komnas HAM kebijakan tata kelola Covid-19 oleh pemerintah yang salah satunya mendorong pengurangan jumlah hunian di lapas maka, sebaiknya diterapkan secara selektif dan bersifat pamungkas," ujar dia.

Edukasi

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Komnas HAM berharap, pemerintah melakukan upaya edukasi soal vaksinasi Covid-19 secara maksimal kepada masyarakat.

Ia menilai, masih banyak yang belum paham manfaat vaksinasi, terutama di perdesaan.

"Namun tindakan yang lebih tegas bisa dilakukan kepada pihak yang menghalangi sosilisasi dengan cara menyebarkan berita bohong atau hoaks dengan mengambil tindakan pemberian sanksi yang lunak sampai yang lebih tegas," kata Taufan.

Di sisi lain, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai, ketiga sanksi yang dijatuhkan bagi penolak vaksin kurang tepat.

Dia mengungkapkan, tantangan paling besar adalah membangun kesadaran terkait pentingnya vaksin.

Menurut Anam, pendekatannya bukan sanksi tetapi bisa berupa insentif. Misalnya, siapa saja yang mau divaksin akan diberi asupan tambahan gizi.

Tambahan asupan gizi di masa pandemi, kata dia, akan mengokohkan ketahanan kesehatan masyarakat. Atau, bukti vaksinasi digunakan untuk memudahkan mengurus bantuan sosial.

"Ini soal paradigma pendekatan dan perspektif kesehatan. Narasi yang dibangun adalah mengajak semua untuk kesehatan dan membangun kesehatan masyarakat," kata Anam.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/28/183500765/sanksi-menolak-vaksinasi--tidak-dapat-bansos-hingga-penghentian-layanan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke