Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Kita Mudah Marah Akhir-akhir Ini dan Upaya Meredakannya

Selamat Idul Fitri 1442 Hijriah buat kamu yang merayakan. Selamat Lebaran buat kita semua. Sudah sejak lama, Idul Fitri dan Lebaran menjadi perayaan kultural, selain perayaan keagamaan.

Meskipun dua tahun terakhir kita merayakan perayaan agama dan kultural ini secara berbeda karena situasi pandemi, semoga makna terdalam dan kehangatan perayaan itu berupa kegembiraan tidak berkurang.

Agak sulit memang perayaan keagamaan dan kultural dilakukan tanpa perjumpaan langsung. Kegembiraan dari perayaan adalah perjumpaan demi perjumpaan. Sudah sangat lama ini kita praktikkan.

Cara baru perjumpaan demi perjumpaan sedang dilatihkan meskipun tidak dengan saling berjumpa karena virtual saja. Sangat berbeda dan kerap tidak serta merta menghadirkan kegembiraan.

Banyak kendalanya, bukan hanya karena tidak ada fisik pertemuan. Masalah jaringan, salah tangkap dalam berkomunikasi karena tidak utuhnya kehadiran dan sejumlah hal lain jadi penghalang hadirnya kegembiraan.

Hal yang sering kita jumpai dan hadir dalam diri kita belakangan ini adalah kesedihan. Mungkin kita kurang menyadari hadirnya kesedihan karena perasaannya sangat menekan.

Cara paling mudah mengenali hadirnya kesedihan yang kerap kita tolak adalah munculnya kemarahanan. 

Kesedihan yang umumnya berakar pada kekosongan lebih berat untuk dirasakan. Karena berat, kita cenderung melakukan aksi yang mudah dengan marah. Marah adalah tanda.

Menurut para peneliti masalah kejiwaan, sedih adalah pijakannya dan marah adalah aksinya.

Terkadang kita mengalihkan untuk tidak merasa sedih karena sedih itu berat dan menekan. Karena perasaan itu begitu menekan, reaksi atas tekanan itu muncul dalam bentuk marah.

Karena itu, ketika saya marah dan menyadari kemarahan itu, saya lantas menarik diri. Cara paling sederhana yang saya lakukan adalah menarik nafas dalam dan mengebuskannya pelan-pelan untuk mencari apa pijakan dari kemarahan itu.

Apa kesedihan dan kekosongan yang berat dan menghampiri saya sehingga memunculkan amarah?

Ketika menghadapi atau mendapati orang yang marah dan marahnya hebat, hal sama saya lakukan alih-alih membuat penilaian tak berdasar.

Setiap marah ada sebabnya, ada akarnya. Sebisa mungkin kita membantu mengatasi sebabnya agar reda marahnya.

Apa yang dilakukan petugas penuh empati di lapangan entah itu polisi atau petugas lain dalam menghadapi orang-orang yang marah di jalan menurut saya tepat.

Adalah Kasat Lantas Polres Karawang, Jawa Barat AKP Rizky Adi Saputro. Menjalankan tugas dan mengawasi anak buahnya bertugas mencegah pergerakan mudik, Rizky bersiaga di Pos Penyekatan Tanjungpura, Karawang, Jawa Barat.

Senin (10/5/2021) dini hari sekitar pukul 02.00. Ribuan pemotor tertahan dan jumlahnya makin bertambah.

Kepada yang provokatif dan mengumbar amarah, petugas berinisiatif hendak mengamankan. Pemudik yang hendak diamankan menolak sambil tetap marah-marah.

Rizky ikut menghampiri. Namun pemudik yang marah tetap menolak diamankan sambil tetap marah. Spontan, Rizky memeluk pemudik yang masih ada di atas motor beberapa saat sambil meredakan amarahnya.

Dalam pelukan ada keheningan. Dalam keheningan itu, terlontar kesedihan dan kekosongan mendalam sebagai pijakan kemarahan. Saya hanya ingin bertemu anak saya. Suara itu disampaikan dengan nada gemetar.

Pelukan makin erat. Rizky tidak bisa berkata-kata. Amarah berupa kata-kata yang dilantangkan lantas mereda. Pijakan berupa kesedihan dan kekosongan yang memunculkan amarah tertemukan.

Setelah tenang, Rizky mengajak bicara pemudik dengan motor berplat Z. Apa yang dialami pemudik dialami juga para petugas yang berjaga. Rizky sendiri mengaku sudah empat kali Lebaran tidak mudik ke Madiun.

Minggu lalu, kita jumpai kemarahan di banyak tempat lewat media sosial pertama-tama lantaran viral. 

Teman saya, seorang sutradara mengalaminya dan heran dengan kemarahan orang-orang di media sosial terhadapnya.

Hal kecil saja bisa memantik amarah besar dan bergelombang. Selain bergelombang, amarahnya juga bergerombol seperti paketan.

Alih-alih menanggapi kemarahan dengan kemarahan lainnya, sutradara itu memilih langkah tepat menyampaikan keheranannya kepada kami di grup whatsapp.

Teman saya yang juga teman sutradara itu menenangkan dengan memberi masukan dan nasihat bijak. Amarah bisa dikendalikan dengan cara tidak menanggapi kemarahan dengan kemarahan.

Saya menyarankan kepadanya, jika menghadapi situasi yang memancing amarah, silakan menarik nafas panjang lalu hembuskan pelan-pelan. 

Jika hendak mengetik cepat dengan jempol di smartphone untuk membalas kemarahan, pikir ulang apakah itu layak jika ditujukan kepada diri sendiri.

Tidak mudah mengelola amarah karena itu cerminan dari ketidakmudahan kita mengelola kesedihan dan kekosongan yang jadi pijakannya.

Siapa pun bisa marah. Presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, dosen, guru, polisi, anggota dewan, penjual, pembeli, ayah, ibu, anak, pemudik dan mereka yang mencegah mudik.

Semua bisa marah karena masing-masing dari kita kerap mendapati kesedihan dan kekosongan dalam hidup. Kesedihan adalah pijakan amarah.

Tidak heran, kita kerap menyesal bahkan sampai menitikkan air mata usai marah yang hebat. Kesedihan dan kekosongan adalah pijakannya. Marah adalah aksinya. Penyesalan dan air mata adalah tanda kesedihan dan kekosongan itu.

Karena itu, meskipun tidak mudah, adalah benar nasihat bijak untuk memadamkan amarah sebelum matahari terbenam.

Untuk memadamkannya, temukan kesedihan dan kekosongan yang jadi pijakan kemarahanmu yang kerap menggebu-gebu.

Berdamailah dengan kesedihan dan kekosongan itu.

Salam damai,

Wisnu Nugroho

https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/18/091453665/kenapa-kita-mudah-marah-akhir-akhir-ini-dan-upaya-meredakannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke