Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berhati-hatilah di Saat Pegang Palu Kekuasaan

Begitulah kira-kira nada yang digaungkan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati dalam amanat ulang tahun PDI Perjuangan ke - 48, di Jakarta, Minggu, 10 Januari 2021.

Januari adalah hari kelahiran Megawati dan partai yang dibangunnya. Megawati lahir di Yogyakarta, hari Kamis malam Jumat, 23 Januari 1947. PDI yang kemudian menjadi PDI Perjuangan, dilahirkan 10 Januari 1973.

"Militansi dan kesetiaan kader paratai diuji, bukan hanya pada saat partai terpuruk," seru Mega.

"Militansi dan kesetiaan kader partai diuji, justru pada saat kita menang. Saat kita menduduki posisi-posisi penting. Saat palu kekuasaan digunakan untuk memutuskan perbaikan kehidupan rakyat, bangsa dan negara, yang sesuai dengan ideologi Pancasila," demikian lanjut Megawati.

Dalam seruannya, seperti yang dinyatakan juga dalam HUT ke-47 PDI Perjuangan di Kemayoran, Jakarta, 2020, setahun lalu, Megawati mengatakan, "... Sebagai ketua umum partai yang membidani dan terus memperjuangkan keberlangsungan partai, saya ingatkan kepada seluruh kader partai untuk jangan pernah memunggungi rakyat."

Tahun lalu, Mega berseru kepada para kader yang tidak menjalankan instruksi seperti ini diminta untuk keluar dari PDI Perjuangan.

Seruan berupa peringatan kepada kader partainya dari Megawati juga pernah muncul sekitar beberapa bulan setelah Megawati gagal memenangi pemilihan presiden secara langsung dan partainya tidak lagi meraih nomor satu dalam pemilihan umum 2004.

Dalam pidato pembukaan Kongres PDI Perjuangan di Bali, akhir Maret 2005, Megawati menunjukkan PDI Perjuangan yang memenangkan Pemilu 1999 secara fantastis dan kemudian masuk dalam lingkaran kekuasaan, justru membuat para kader partainya kehilangan wataknya sebagai partai kerakyatan.

"Perubahan perilaku, bahkan berkembangnya perilaku menyimpang yang dipertontonkan kader PDI Perjuangan yang berada di lembaga legeslatif dan eksekutif, seperti yang sudah berulangkali saya tegaskan, merupakan sumber sumber malapetaka," begitu kata Mega dalam pidatonya saat itu.

"Apalagi hal ini diikuti sikap percaya diri berlebihan seakan rakyat akan tetap memilih sekali pun tidak pernah bersentuhan apalagi bekerjasama dengan rakyat," lanjut Mega tahun 2005.

"Sikap tidak terpuji sebagian kita (PDI Perjuangan) diikuti kemalasan untuk turun ke bawah -sebagai wujud mentalitas feodalistik- berperan penting dalam penurunan suara partai kita dalam Pemilu 2004," tunjuk Mega saat itu (2005).

Walaupun sudah ada peringat demikian di tahun 2005, dalam pemilihan umum 2009, peroleh suara PDI Perjuangan semakin merosot lagi, menjadi parati nomor tiga setelah Partai Demokrat dan Partai Golkar. Tahun 2009, Megawati juga tidak berhasil memenangkan pemilihan presiden lagi.

Jadi dalam salah satu amanatnya pada HUT PDI Perjuangan ke-48, Megawati menginginkan jangan sampai para kader PDI Perjuangan memunggungi atau membelakangi rakyat dan waspada ketika berada di posisi-posisi pemegang palu kekuasaan.

Sudah terlalu lama memunggungi laut

Seruan "jangan memunggungi rakyat" ini mengingatkan kita pada pernyataan "kita sudah terlalu lama memunggungi laut, danau, sungai, waduk, rawa, dan seterusnya".

Nada dari seruan ini juga ingin mengatakan agar kita jangan memunggungi laut, danau, waduk, sungai dan seterusnya. Kita musti bersahabat dengan laut, danau, sungai dan waduk, agar alam ini tidak "murka". Memunggungi, laut, danau, waduk, sungai yang mewakili gerak alam ini bisa ditafsirkan bisa menyebabkan hal buruk.

Saya jadi ingat apa yang ditulis Greg Barton dari Australia, berjudul Biografi Gus Dur, tahun 2003. "Dalam literatur Asia Tenggara tradisional, keadaan alam sering kali dikaitkan dengan kekuasaan penguasa."

"Oleh karena itu kegagalan dalam alam, ketidakseimbangan alam atau serangkaian bencana, menunjukkan bahwa terdapat masalah dengan sang pemimpin," demikian tulis Greg Barton.

Ingat pula saya dengan buku tulisan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, pada tahun 2009. Ia meluncurkan buku berjudul, "Bencana Bersama SBY". Dalam buku ini antara lain dibeberkan tafsir metafisika antara gerak gerik alam, kecelakaan yang berkaitan dengan laut, danau, waduk, situ, sungai dan seterusnya. Itu semua bisa ditafsirkan dengan para pemegang palu kekuasaan.

Maka, jangan punggungi gejala alam, lebih lagi jangan punggungi rakyat.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/19/071817065/berhati-hatilah-di-saat-pegang-palu-kekuasaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke