Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Antemortem, Postmortem, dan Kerja Forensik dalam Proses Identifikasi Jenazah?

Hingga saat ini, pencarian puing-puing pesawat masih terus dilakukan oleh tim dari Basarnas, TNI, Polri, serta sejumlah institusi lainnya.

Pada Minggu (10/1/2021) pukul 09.45 WIB, sejumlah potongan tubuh yang diduga penumpang pesawat Sriwijaya Air ditemukan oleh tim penyelam.

"Potongan tubuh korban itu di balik bagian badan pesawat. Puing badan pesawat ada di bawah laut," ujar salah satu penyelam Kopaska TNI AL di tengah perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Minggu.

Bagian tubuh yang ditemukan akan diidentifikasi melalui serangkaian proses. 

Hingga Senin (11/1/2021) pagi, tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri telah menerima 16 kantong jenazah dan tiga kantong properti.

Selain itu, tim DVI juga telah menerima 40 sampel DNA dari keluarga korban, yang nantinya akan menjadi salah satu sumber petunjuk untuk mengetahui identitas jenazah korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182.

Di berbagai pemberitaan mengenai proses identifikasi jenazah, kerap kali muncul istilah-istilah seperti "antemortem", dan "postmortem".

Apa arti dari istilah-istilah tersebut, dan bagaimana cara kerja forensik mencari tahu identitas dari jenazah korban kasus bencana massal?

Cara kerja forensik

Kepala Departeman Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ade Firmansyah mengatakan, identifikasi forensik pada kasus bencana massal dilakukan melalui empat fase.

"Fase pertama itu adalah penemuan jenazah di lokasi. Pada saat jenazah itu ditemukan, maka semua benda yang melekat, maupun lokasi tempat jenazah ditemukan harus terdokumentasi dengan baik," kata Ade saat dihubungi Kompas.com, Senin (11/1/2021).

"Apalagi pada kasus-kasus seperti ini, karena itu bisa memberikan petunjuk yang sangat berharga," ujar dia.

Ade mencontohkan, hal ini bisa dilihat pada kasus jatuhnya pesawat Lion Air pada 2018.

Saat itu, ada salah satu jenazah yang ditemukan masih duduk di kursi pesawat.

"Maka dari manifes (penerbangan), kita bisa tahu dia siapa," kata Ade.

"Pemeriksaannya itu bisa hanya luar saja, bisa juga sampai pengambilan sampel atau melihat sampai ke dalam," ujar Ade.

Contohnya, pada jenazah korban yang memiliki riwayat operasi jantung. Data medis itulah yang dicari oleh tim forensik, dan kemudian dicocokkan dengan jenazah yang ditemukan.

"Betul enggak? Ada individu ini memiliki riwayat operasi jantung. Betul enggak ada bekas-bekas operasi jantung pada tubuh jenazah yang kita periksa," kata Ade.

Ade mengatakan, semua pemeriksaan pada saat postmortem adalah untuk mencari penanda identifikasi.

Penanda identifikasi terdiri dari dua hal, yaitu penanda identifikasi primer, dan penanda identifikasi sekunder.

Ade menyebutkan, penanda identifikasi primer, terdiri dari DNA, sidik jari, dan rekam gigi

"Disebut primer, karena kespesifikan dari sisi penanda ini mengakibatkan tidak mungkin ada dua orang memiliki penanda identifikasi yang sama," kata Ade.

DNA, rekam gigi, ataupun sidik jari adalah penanda spesifik yang antara satu orang dengan orang lainnya tidak mungkin sama.

Sementara itu, penanda identifikasi sekunder, terdiri dari properti, mulai dari baju, perhiasan, termasuk juga KTP.

"Tapi, memang itu (penanda sekunder) tidak spesifik. Kenapa? Misalnya KTP saya lagi saya titipin ke istri. Seumpama begitu kan, KTP bukan berarti menentukan orang tersebut kan? Sekalipun jelas-jelas ada KTP-nya di situ," kata Ade.

Oleh karena itu, ia menyebutkan, properti seperti KTP dikategorikan sebagai penanda identifikasi sekunder.

Selain properti, penanda identifikasi sekunder lainnya adalah data medis, misalnya bekas operasi, atau jaringan parut.

"Misalnya perempuan ini pernah operasi sesar. Tentu kita melihat di daerah perut bawahnya itu kan ada jaringan parutnya ya, bekas operasi sesar," ujar Ade.

"Atau orang ini pernah operasi patah tulang. Hal-hal seperti itu termasuk data medis, seperti juga tinggi bada, warna kulit, warna rambut, dan bentuk rambut," imbuhnya.

Ade mengatakan, data medis dikategorikan sebagai penanda identifikasi sekunder karena sifatnya yang juga bisa dimiliki orang lain.

"Golongan darah si jenazah ini A, kan banyak orang dengan golongan darah A. Laki-laki dengan rentang usia 20-30 tahun dengan golongan darah A, juga masih banyak, kan begitu," kata Ade.

Akan tetapi, lanjut dia, terkadang data medis memiliki kespesifikan tersendiri. Misalnya pada seseorang yang pernah memasang implan pacemaker (pacu jantung).

"Pacemaker itu ada nomor serinya. Jadi nomor seri tersebut dipasang pada orang ini. Berarti kalau kita ketemu jenazah yang di jantungnya terpasang pacemaker, dengan nomor seri tersebut, sudah pasti orang tersebut," kata Ade.

"Sekalipun sama-sama data medis, tapi kespesifikannya itu tadi membuatnya jadi penanda identifikasi yang lebih tepat," ujar dia.

Antemortem

Ade mengatakan, pengambilan data antemortem, sebetulnya mengumpulkan data-data penanda identifikasi yang sama seperti postmortem.

"Semua yang kita ingin cari di jenazah itu, itulah yang juga ditanyakan ke keluarga di antemortem," kata Ade.

Misalnya, meminta foto yang dimiliki keluarga, yang menampilkan saat korban tersenyum dan menampakkan giginya, sehingga dapat diketahui susunan gigi milik korban.

"Terus misalnya kita minta fotokopi KTP korban. Karena di fotokopi KTP ada tanggal lahir, jadi kita tahu rentang usianya, terus ada golongan darah," kata Ade.

"Termasuk juga misalnya, foto saat dia sebelum berangkat. Orang ini misalnya lagi pakai earphone, pakai baju warna coklat, dengan motif apa, itu kan akan lebih melengkapi," lanjut dia.

Selain itu, pada saat antemortem, tim forensik juga bisa meminta contoh sidik jari korban, yang salah satunya bisa dilihat di KTP atau ijazah.

Mengenai profil DNA, Ade mengatakan, bisa diambil dari keluarga atau properti pribadi. Misalnya dari profil DNA ayah atau ibu korban, jika tidak ada bisa juga diambil dari profil DNA saudara kandungnya.

"Karena profil DNA anak itu, pasti 50 persen dari bapaknya, 50 persen dari ibunya, atau mixing dari keduanya itu. Jadi match antara jenazah yang kita periksa dengan itu," kata Ade.

Ade mengatakan, seumpama jenazah yang ditemukan tidak dalam kondisi utuh, hal tersebut tidak menjadi masalah karena bagian tubuh apa pun yang ditemukan masih mengandung DNA, sehingga masih bisa dijadikan sebagai penanda identifikasi primer untuk mengidentifikasi korban.

Fase rekonsiliasi

Ade mengatakan, data antemortem yang lengkap, serta data dari lokasi penemuan jenazah, dan data postmortem yang komplet akan memudahkan tim forensik melakukan fase keempat, yaitu fase rekonsiliasi.

"Fase rekonsiliasi itu fase matching tadi. Antara data fase 1, fase 2, dengan fase 3 tadi. Jadi kita matching-kan," kata Ade.

Ade mengatakan, proses identifikasi jenazah dalam kasus jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 ini relatif lebih mudah.

Sebab, kasus tersebut termasuk dalam kasus bencana tertutup (closed disaster), berbeda dengan kasus bencana terbuka (open disaster), seperti peristiwa gempa bumi di Palu beberapa waktu lalu.

"Closed disaster, karena orang-orangnya, manifesnya ya itu-itu saja. Kalau gempa bumi seperti waktu itu di Palu, itu open disaster, enggak tahu siapa yang meninggal atau bagaimana," kata Ade.

"Namun, lokasinya (jatuhnya Sriwijaya Air) yang memang terbuka, luas, sehingga memang pencarian jenazahnya itu akan menyulitkan," lanjut dia.

Ade mengatakan, proses identifikasi jenazah dalam kasus bencana massal membutuhkan data selengkap mungkin.

Karena jenazah yang ditemukan tidak selalu dalam kondisi utuh, sehingga kelengkapan data akan sangat membantu proses identifikasi.

"Imbauan saya, kepada seluruh anggota keluarga yang merasa kehilangan keluarganya, menjadi korban dari musibah ini, penanda identifikasi itu kan dua, primer dan sekunder. Sekunder pun tapi bila itu yang sangat spesifik, itu sangat membantu," kata Ade.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/11/145200365/apa-itu-antemortem-postmortem-dan-kerja-forensik-dalam-proses-identifikasi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke