Seperti pada awal pandemi, ramai soal empon-empon yang disebut-sebut dapat mencegah virus corona.
Pada akhir April, Satgas lawan covid DPR-RI mengimpor jamu dari China yang diklaim menyembuhkan pasien virus corona. Hal ini kemudian diprotes Gabungan Pengusaha (GP) Jamu.
"Kenapa Satgas lawan covid DPR-RI rekomendasi itu karena herbal Vit teruji bisa menyembuhkan. Salah satu pimpinan DPR bersama 6 anggota keluarga terpapar Corona, setelah minum itu herbal Vit-19 sembuh," ujar Anggota Komisi IV DPR Andre Rosiade dikutip dari Kontan, (27/4/2020).
Sementara yang terbaru adalah ramai mengenai kalung eucalyptus yang diklaim sebagai antivirus corona dan akan diproduksi Kementerian Pertanian.
Sebelum itu, dikutip dari Kompas.com (19/5/2020), beberapa prototype teknologi berbasis minyak eucalyptus sebagai antivirus disebut dihasilkan atas kolaborasi beberapa unit kerja di bawah Balitbangtan.
Di antaranya Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet), Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen), dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah terdaftar paten, antara lain:
1. Formula Aromatik Antivirus Berbasis Minyak Eucalyptus dengan nomor pendaftaran paten P00202003578
2. Ramuan Inhaler Antivirus Berbasis Eucalyptus dan Proses Pembuatannya dengan nomor pendaftaran paten P00202003574
3. Ramuan Serbuk Nanoenkapsulat Antivirus Berbasis Eucalyptus dengan nomor pendaftaran paten P00202003580
4. Minyak atsiri eucalyptus citridora sebagai antivirus terhadap virus avian influenza subtipe H5N1, gammacorona virus, dan betacoronavirus.
Mekanisme dan prosedur ilmiah
Melihat beberapa klaim temuan tersebut, epidemiolog dr Dicky Budiman mengatakan, secara mekanisme atau prosedur ilmiah, satu tanaman dapat menjadi produk jadi atau obat, rata-rata membutuhkan waktu 15-20 tahun penelitian.
Riset memang tetap harus dilakukan dan dilihat, meskipun pada tumbuhan tersebut benar ditemukan suatu kandungan antivirus.
"Karena umumnya tumbuhan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan satu ekstrak yang dibutuhkan. Umumnya itu tidak efisien," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Minggu (5/7/2020).
Ia menambahkan, ketidakefisienan tersebut lantaran kebutuhan yang banyak namun hasil dari ekstraksi sedikit, sehingga akhirnya kembali ke obat-obatan sintetik atau bukan dari tumbuhan.
Menurutnya, klaim bahwa produk dari tumbuhan, termasuk jamu dapat sebagai obat Covid-19, ini tidak mempunyai dasar yang kuat.
"Klaim-klaim obat mau kalung, jamu, minuman ya jelas secara logis tidak masuk. Kalau sifatnya untuk meningkatkan imunitas, itu beda lagi, tidak berkaitan langsung dengan penanganan atau pengobatan Covid-19," ujar Dicky.
Pihaknya menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada obat untuk Covid-19. Penemuan obat secara khusus bagi Covid-19 membutuhkan waktu dan melalui perjalanan panjang.
Sementara saat ini, perawatan pasien menggunakan beberapa obat yang sudah ada.
"Ini pun jalur cepat menggunakan obat-obat yang sudah ada, seperti redemsivir kan obat Ebola. Jadi bukan obat yang benar-benar baru," paparnya.
"Kalau obat yang benar-benar baru ya bisa 20 tahun lagi. Itupun tidak bisa langsung saja, perlu waktu untuk mendapatkan kombinasinya," lanjut dia.
Dicky yang telah terlibat dalam penanganan wabah hampir 18 tahun sejak SARS, HIC, dan flu burung ini berujar, obat Covid-19 yang efektif harus disesuaikan dengan bagaimana virus menginfeksi tubuh.
Namun, hal yang membuat sulit di antaranya adalah infeksi yang disebabkan Covid-19 tidak hanya satu cara saja, sehingga obat yang diperlukan juga harus mempunyai potensi kerja yang disesuaikan dengan virus.
"Sangat tidak mungkin obatnya itu hanya satu. Bedasarkan riset sampai saat ini, obat untuk mengobati Covid-19 itu multi drugs atau obat kombinasi. Kembali disesuaikan dengan bagaimana virus menginfeksi tubuh manusia," ujar dia.
Dicky menyampaikan, pemerintah tetap harus fokus pada strategi utama pengendalian pandemi Covid-19 yang telah terbukti secara ilmiah dan fakta menunjukkan keefektifannya.
Selain itu, diperlukan untuk meningkatkan testing, pelacakan kasus, hingga peningkatan fasilitas kesehatan.
Sementara, masyarakat perlu diedukasi dan diberikan sosialisai mengenai pencegahan virus melalui 3M (mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik).
"Supaya masyarakat tidak bingung. Tidak salah dalam mengambil sikap," kata Dicky.
Dikhawatirkan klaim akan menurunkan kewaspadaan dari masyarakat untuk melakukan sikap-sikap pencegahan karena merasa aman.
"Tapi aman palsu. Ini terjadi di setiap pandemi," ujarnya.
Kolaborasi semua sektor, dari pemerintah daerah hingga pusat diperlukan dalam menangani pandemi yang saat ini terjadi.
Tanggapan UI
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr.dr.Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB menegaskan hal yang sama.
"Tidak boleh asal klaim. Sejatinya saat ini belum ada obat untuk Covid-19," ujar Ari.
Ia menanggapi mengenai kalung anti corona, bahwa masih membutuhkan perjalanan riset yang panjang untuk mengeklaim sebagai anti virus.
"Jangan skeptis atas hasil penelitian in vitro bahwa eucalyptus atau eukaliptus (minyak kayu putih) ada efek positif untuk virus corona. Tapi juga tidak boleh berlebihan beranggapan hasil penelitian in vitro, langsung di klaim sebagai anti virus Covid-19," ujarnya menjelaskan.
Terlebih, lanjut dia, riset in vitro atau baru di tingkat sel, belum menggunakan virus Covid-19 secara langsung.
"Jadi saya tidak setuju jika kalung eucalyptus disebut sebagai kalung anti virus. Cukuplah disebut kalung kayu putih atau kalung eucalyptus," kata Ari.
Hal ini mengingat produk-produk kayu putih yang ada dalam bentuk inhaler atau roll on yang sebagian telah disetujui BPOM tapi keberadaannya bukan sebagai antivirus.
Pihaknya berharap, riset mengenai ecualyptus berlanjut karena minyak kayu putih memang telah digunakan sejak dahulu hingga sekarang untuk berbagai masalah kesehatan.
(Sumber: Kompas.com/ Erlangga Djumena, Virdita Rizki Ratriani)
https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/05/181500565/klaim-antivirus-corona-epidemiolog-menurunkan-kewaspadaan-masyarakat