Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

50 Tahun Wafatnya Bung Karno: Akhir Hidup dalam Kesepian

KOMPAS.com - Hari ini 50 tahun lalu, Presiden Pertama Republik Indonesia menghembuskan nafas terakhir pada 21 Juni 1970 di usia 69 tahun.

Bung Karno diketahui menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama.

Namun, tak selayaknya seorang proklamator bangsa, akhir hidupnya dihabiskan dengan kesendirian di Wisma Yaso karena harus menjalani pemeriksaan terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965. 

Di rumahnya itu, ia tak punya teman bicara. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas.

Bahkan, Yuanda Zara dalam bukunya "Ratna Sari Dewi Sukarno, Sakura di Tengah Prahara" (2008) menyebut pembicaraan dan tingkah laku setiap orang yang menjenguk diawasi penjaga dengan ketat.

Karena itu, Bung Karno banyak menghabiskan waktunya membaca majalah dan surat kabar, baik dalam maupun luar negeri.

Kondisi terus melemah

Keadaan Bung Karno di Wisma Yaso juga digambarkan oleh istrinya, Fatmawati yang terakhir menjenguknya pada Februari 1970.

Menurutnya, Bung Karno saat itu sudah sulit untuk berdiri, sehingga harus dibantu.

"Sekarang ini Bung Karno sudah sedemikian lemahnya, sehingga untuk ke kemar mandi saja perlu dibopong oleh para juru rawat," kata Fatmawati, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Juni 1970.

Kendati kondisinya begitu buruk, Bung Karno tidak mendapat perawatan yang memadai.

Dalam jurnal yang berjudul "Ku Titipkan Bangsa dan Negeri Ini Kepadamu: Kesaksian Tentang Akhir Hidup Soekarno" (2015), Brigida Intan Printina menuliskan, dokter pribadi Soekarno, Suroyo kerap mengeluh karena tim dokter spesialis sering enggan datang ke Bogor atau Wisma Yaso.

Menurut Suroyo, tulis Brigida, ada beberapa alasan yang menekan tim dokter, salah satunya adalah takut diintimidasi.

"Ketika itu siapa pun yang sering datang mengunjungi Sang Proklamator, pasti dicurigai dan ditanyai macam-macam, seolah-olah Presiden pembawa penyakit menular," tulis Brigida.

Tak hanya itu, ketika Suroyo meminta alat pencuci darah, tapi alat itu tak kunjung tiba sampai Bung Karno wafat.

Untuk memeriksa darah Bung Karno, Suroyo sering hanya menggunakan laboratorium kecil milik Institut Pertanian Bogor. Itupun dengan menyamarkan nama Presiden Soekarno.

Kesaksian putri Bung Hatta

Dalam buku Mengenang Bung Hatta (1988), Iding Widjaja Wangsa menuliskan kesaksian putri Bung Hatta, Meutia Hatta sesaat sebelum Soekarno wafat.

Saat menjenguk Bung Karno bersama ayahnya di RSPAD Gatot Soebroto, Meutia menyebut wajah Bung Karno telah pucat dan tak sadarkan diri.

Mengetahui kondisi itu, Bung Hatta beserta rombongan pun meninggalkan ruang perawatan itu.

Namun, Bung Karno tiba-tiba siuman dan tangannya seperti menggapai-gapai dan menunjuk sesuatu di atas kepalanya.

Gerakan itu mengisyaratkan perawat untuk mengambilkan kacamata untuknya. Setelah memakainya, Bung Karno kemudian melambaikan tangannya seakan meminta Bung Hatta mendekat.

Menurut kesaksian Meutia Hatta, Soekarno mengucapkan kalimat yang sulit ditangkap, karena dalam bahasa Belanda: "Hoe gaat het met jou? (apa kabar)" sambil menitikkan air mata.

Ia memendangi kawannya, Hatta yang terus memijit lengannya. Tak ada yang bisa dilakukan Hatta kecuali berpesan padanya.

"Ya, sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakkal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh," kata Bung Hatta.

Tak lama setelah itu, Bung Karno pun menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu, 21 Juni 1970 pukul 07.00 WIB.

Bung Karno kemudian dimakamkan di Blitar, tempat Ibunya juga dimakamkan.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/21/155156665/50-tahun-wafatnya-bung-karno-akhir-hidup-dalam-kesepian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke