Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Catatan untuk Polisi, Penanganan Aksi Tak Seharusnya Melibatkan Emosi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam mengamankan aksi mahasiswa dan elemen masyarakat di sejumlah daerah seharusnya dilakukan sesuai aturan.

Seperti diberitakan, sejak aksi mahasiswa, pelajar, dan sejumlah elemen masyarakat berlangsung sejak Senin (23/9/2019), beredar video kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian.

Terakhir, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tengggara, meninggal dunia karena luka tembak.

Keduanya meninggal diduga karena tembakan peluru tajam.

Bambang menyebutkan, tindakan polisi sudah berlebihan karena mengakibatkan jatuhnya korban luka bahkan korban jiwa.

“Ada rujukan Peraturan Kapolri terkait penanganan unjuk rasa, di antaranya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan standar HAM,” ujar Bambang saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/9/2019).

Selain itu, ia menilai, tindakan kepolisian juga keluar dari Peraturan Kapolri No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas).

“Kita melihat bagaimana penanganan anggota pada pengunjuk rasa dilakukan dengan emosi. Padahal dalam Perkap 16/2006, pengendalian massa dalam unjuk rasa tidak mengenal kondisi apa pun, polisi harus disiplin tanpa melibatkan emosi,” lanjut dia.

Kekerasan yang dilakukan oleh aparat dinilai Bambang mencederai demokrasi.

Sebab, tindak kekerasan itu dilakukan terhadap massa yang tengah menyuarakan aspirasinya terkait kebijakan pemerintah.

Ia mengingatkan, dalam salah satu aturan kepolisian, terhadap pelaku kerusuhan pun polisi harus taat prosedur, mengedepankan prasangka tak bersalah, dan mengedepankan kemanusiaan.

Polisi, lanjut dia, seharusnya menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang sedang menjalankan hak demokrasinya.

“Yang patut dicermati adalah respons dari para petinggi Polri yang tak segera tanggap terhadap penanganan di lapangan,” ujar Bambang.

Seharusnya tak berlebihan

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai, seharusnya pihak kepolisian belajar dari penanganan pada massa aksi 21-24 Mei 2019.

Dalam penanganan aksi itu, menurut dia, polisi bisa menangani demonstran dengan baik.

“Tak boleh terbawa emosi, tak boleh tindakan berlebihan. Sayangnya, itu kok enggak jadi pembelajaran,” kata Choirul Anam, saat dihubungi secara terpisah, Jumat siang.

Ia menilai, pada dasarnya, polisi memang memiliki kewenangan untuk menembak maupun melumpuhkan, berdasarkan SOP yang ada pada perkap-perkap terkait pengendalian unjuk rasa.

Namun, ia mengingatkan, penggunaan kewenangan tersebut tak boleh dilakukan secara berlebihan.

“Misal, kalau menghadapi mahasiswa yang cuma membawa bendera, nyanyi-nyanyi dan bawa poster, tapi dihadapi dengan peluru atau senjata, berarti itu menyalahi prosedur,” kata dia.

Contoh lain, Anam menyebutkan, jika dalam sebuah aksi ditemukan bom molotov yang dibawa pengunjuk rasa, maka ada aturan dalam penanganannya.

“Polisi boleh melakukan tindakan keras membawa dia keluar dari kerumunan aksi guna memastikan bom molotov tersebut tidak dilempar, itu boleh. Tapi ya itu, penggunaan kewenangan tak boleh berlebihan," papar Anam.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/27/195137665/catatan-untuk-polisi-penanganan-aksi-tak-seharusnya-melibatkan-emosi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke