KOMPAS.com - Zaman Neolitikum merupakan era revolusi dalam kehidupan masyarakat praaksara Indonesia, di mana terjadi perubahan dari food gathering (mengumpulkan makanan) menjadi food producing (bercocok tanam).
Meski semua wilayah di dunia mengalami periode ini, tetapi awal mula dan berlangsungnya berbeda-beda di setiap tempat, begitu pula di Kepulauan Indonesia.
Masa Neolitikum atau terjadinya revolusi kebudayaan untuk pertama kalinya diperkirakan terjadi pada kala Holosen, atau sekitar 12.500 tahun lalu.
Lantas, bagaimana revolusi kebudayaan pada zaman Neolitikum di Indonesia?
Baca juga: Zaman Neolitikum: Ciri-ciri, Manusia Pendukung, dan Hasil Kebudayaan
Pada periode ini, daerah Indonesia yang dihuni manusia semakin bertambah luas, dengan pemusatan populasi di daerah-daerah yang subur.
Kehidupan masyarakat pada zaman Neolitikum tidak lagi berpindah-pindah tempat, karena masyarakatnya telah hidup menetap dan mampu mengolah ladang.
Menilik kondisi beberapa tempat penemuan, masyarakat purba cenderung untuk mendiami tempat-tempat terbuka yang dekat dengan air, seperti di pinggir sungai, tepian danau, dan daerah pantai.
Karena hunian mereka telah menetap, ada kemungkinan masyarakatnya hidup secara berkelompok dan membentuk perkampungan kecil.
Dalam sebuah kampung biasanya terdiri dari beberapa keluarga dan hidup secara gotong royong dengan sistem pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki.
Misalnya para laki-laki bertugas membangun rumah, sementara kaum perempuan akan merawat dan menghiasnya.
Mereka juga menunjuk ketua suku dan memiliki aturan hidup sederhana yang harus dijalani anggotanya.
Bentuk rumah mereka kebulat-bulatan dengan atap terbuat dari daun dan langsung menempel di tanah.
Bentuk seperti ini diduga bentuk yang paling tua di Indonesia dan sampai sekarang masih dapat dijumpai di Timor, Papua, Kalimantan Barat, dan Andaman.
Baca juga: Pembagian Kerja Antara Laki-laki dan Wanita pada Masa Bercocok Tanam
Revolusi kebudayaan yang terjadi pada zaman Neolitikum di Indonesia adalah sudah mengenal bercocok tanam.
Pada zaman Neolitikum, manusia purba dapat memproduksi makanan sendiri (food producing) dengan cara bercocok tanam dan beternak.
Sejak periode ini pula, masyarakat Nusantara mulai mengenal sistem pertanian dengan bersawah.
Sesuai dengan gelombang persebaran tradisi Neolitik di Indonesia, pada masa ini telah tanaman yang dibiakkan berupa keladi, ubi, sukun, pisang, durian, manggis, rambutan, duku, salak, dan kelapa.
Di saat yang sama, masyarakat juga telah mengenal teknik penjinakan hewan dan bertukar barang.
Hewan-hewan seperti anjing, babi, kerbau, kuda, dan jenis-jenis unggas akan dipelihara untuk persediaan makanan dan keperluan pertanian.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia prasejarah pada periode ini kerap menukar hasil bercocok tanam mereka.
Baca juga: Revolusi Neolitik: Pengertian, Teori Pendukung, dan Hasil Kebudayaan
Menurut penyelidikan ilmu bahasa, bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia atau Austronesia.
Keserumpunan ini didasarkan atas penelitian "basic vocabulary" pada berabagi bahasa yang digunakan di Kepulauan Austronesia hingga ke Polinesia.
Bahkan ciri-ciri keserumpunan itu dijumpai pula pada bahasa-bahasa Mon-Khmer-Thai di daratan Asia Tenggara.
Zaman Neolitikum di Indonesia ditandai dengan berkembangnya kemahiran mengupam alat-alat batu serta dikenalnya pembuatan gerabah.
Alat-alat yang umumnya diupam atau diasah adalah beliung, kapak batu, mata panah, dan mata tombak.
Beliung dan kapak batu ditemukan tersebar di seluruh kepulauan dan sering kali dianggap sebagai petunjuk umum tentang masa Neolitikum di Indonesia.
Baca juga: Masa Bercocok Tanam di Indonesia
Berikut ini hasil kebudayaan zaman Neolitikum di Indonesia.
Referensi: