Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Transpuan Melawan Stigma dan Teguh Beragama

Kompas.com - Diperbarui 11/10/2022, 12:21 WIB
Tri Indriawati

Penulis

 

KOMPAS.com - Para transpuan selalu menjadi liyan di masyarakat. Mereka juga lekat dengan stigma, tidak terkecuali dalam hal beragama.

Namun, para transpuan yang tergabung di Komunitas Sedap Malam mampu bangkit berkarya melawan stigma.

Pondok Pesantren Nurul Huda pun hadir sebagai tempat mereka untuk “pulang” mencari ketenangan sembari terus berkarya.

Kisah Damai Melawan Stigma

Iringan langgam campursari terdengar bertalu-talu, ketika Kompas.com tiba di sebuah hajatan yang digelar di daerah Bandung Sogo, Ngrampal, Kabupaten Sragen, Sabtu (17/9/2022).

Baca juga: Kisah Marsinah, Aktivis Buruh yang Dibunuh pada Masa Orde Baru

Seorang transpuan dengan rambut panjang tergerai keluar dari rumah sederhana yang digunakan sebagai kamar rias pengantin. Seutas senyuman tersungging di wajah yang dipoles make up tipis itu.

“Mari masuk,” ujar transpuan bernama Damai itu menyambut kedatangan Kompas.com.

Damai adalah salah satu anggota komunitas kesenian Sedap Malam yang mayoritas dihuni para transpuan di Kabupaten Sragen.

Di Komunitas Sedap Malam, para transpuan diajak berkesenian. Mereka biasa tampil menari di berbagai acara.

Namun, kala dijumpai Kompas.com, Damai dan beberapa anggota Sedap Malam, tidak datang ke hajatan untuk menari, melainkan menjadi perias pengantin.

Transpuan bernama lengkap Damai Drajad Wibawa itu mengaku belajar memoles make up secara autodidak.

Ia biasa mengambil job sebagai perias pengantin bersama tim make up artist bernama Nuri Pandan Wangi yang juga dibentuk oleh seorang transpuan dari Komunitas Sedap Malam.

Jika sedang tidak ada jadwal manggung bersama Sedap Malam, mereka akan menerima pekerjaan merias pengantin di berbagai daerah di Kabupaten Sragen dan sekitarnya untuk mencari nafkah.

“Hari ini, rias pengantinnya bergaya modern, jadi tim yang dibawa tidak begitu banyak. Kalau pengantin gaya Jawa, tentu lebih banyak orang yang diajak (untuk merias),” tutur Damai.

Damai bercerita, ia telah menjadi transpuan sejak lulus sekolah menengah atas (SMA).

Transpuan yang kini berusia 24 tahun itu, kemudian bergabung dengan Sedap Malam pada 2018.

Ia memilih menjadi transpuan mengikuti nalurinya yang lebih cenderung ke sifat perempuan.

Berdandan layaknya perempuan tentu bukanlah pilihan mudah bagi seseorang yang terlahir sebagai laki-laki.

Meski demikian, Damai berhasil mengatasi pertentangan dalam hatinya dan mantap menjadi transpuan.

Ia juga telah melawan stigma dalam masyarakat yang kerap memandang rendah seorang transpuan.

Damai dan Nuri, dua orang transpuan anggota Komunitas Sedap Malam kala tengah merias pengantin di Ngrampal, Kabupaten Sragen, 17 September 2022.KOMPAS.com/TRI INDRIAWATI Damai dan Nuri, dua orang transpuan anggota Komunitas Sedap Malam kala tengah merias pengantin di Ngrampal, Kabupaten Sragen, 17 September 2022.

Teguh Beragama

Transpuan kerap menjadi korban diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali menyangkut hak mereka untuk beragama.

Stigma terhadap transpuan juga tidak jarang justru datang dari kalangan agamawan atau mereka yang mengaku mengerti agama.

Oleh masyarakat, transpuan juga tidak jarang dicap sebagai orang yang menyalahi kodrat atau bahkan tidak bertuhan.

Meski begitu, para transpuan yang tergabung dalam Komunitas Sedap Malam, termasuk Damai, tidak risau akan stigma tersebut.

Mereka tetap dapat menjalani hari-hari dengan berbaur bersama masyarakat dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing.

Sebagai seorang pemeluk agama Islam, Damai mengaku juga rajin salat. Meski tidak sering, ia pun juga pergi ke masjid untuk beribadah.

Namun, Damai tidak beribadah sebagai perempuan. Ia memang mengenakan pakaian dan berdandan layaknya perempuan ketika bekerja atau beraktivitas di luar rumah, tetapi ketika beribadah Damai akan kembali menjadi laki-laki.

“Kalau sama manusia kan bisa bohong ya, tapi kalau sama Tuhan kan enggak mungkin, tetap laki-laki (di hadapan Tuhan),” kata Damai.

Hal senada diungkapkan Nuri yang juga merupakan anggota komunitas Sedap Malam.

Meskipun memilih menjadi transpuan ketika bekerja dan berkesenian, Nuri akan kembali menjadi laki-laki ketika beribadah.

“Ya tetap pakai sarung dong kalau salat,” tutur transpuan berusia 28 tahun itu, sembari membereskan alat-alat make up di ruang rias pengantin.

Nuri dan Damai bersama beberapa ibu-ibu perias dari Komunitas Sedap Malam, baru selesai merias mempelai wanita dan pria beserta keluarga pengantin.

Selama ini, para transpuan memang kerap diberi stigma karena sebagian dari mereka bekerja di dunia malam.

Namun, para transpuan yang tergabung dalam komunitas Sedap Malam berhasil melawan stigma itu.

Mereka membuktikan diri mampu mencari nafkah secara halal dan tidak melanggar hukum.

“Mungkin hal ini juga yang membuat masyarakat menerima kami dengan terbuka. Kami tidak pernah didiskriminasi atau dipandang negatif karena kami mampu berkarya secara positif,” ujar Damai menambahkan.

Dihubungi Kompas.com secara terpisah, Ketua sekaligus pendiri Paguyuban Sedap Malam, Sri Riyanto alias Damen, menceritakan, para transpuan yang tergabung dalam organisasi kesenian itu, tetap memeluk keyakinan masing-masing.

Mereka juga rajin beribadah sesuai keyakinan dan agama masing-masing.

“Mereka menganut agama masing-masing. Ada yang Kristen, Katolik, Islam. Yang Kristen dan Katolik rajin ke gereja, yang Islam ya selalu salat,” ujar Damen.

Baca juga: Kisah Mary, Ratu Skotlandia yang Dihukum Mati Elizabeth I

“Kalau Ramadhan, mereka juga rajin ke masjid. Ya biasa, pakai pakaian laki-laki. Kalau soal ibadah, ya tetap sesuai syariat.”

Kehadiran Pondok Pesantren

Lebih lanjut, Damen mengisahkan, para transpuan Sedap Malam juga telah diterima baik oleh kalangan agamawan. Salah satunya adalah di Pondok Pesantren Nurul Huda, Sragen.

Mereka kerap diundang untuk mengisi acara di hari ulang tahun (Haul) Ponpes pimpinan Syarif Hidayatullah itu.

Contohnya adalah dalam Haul Ponpes Nurul Huda yang digelar pada 23 Agustus 2022 kemarin.

“Kami baru saja ke sana untuk bermain bola di acara Haul Ponpes. Kami sudah biasa diundang ke sana. Sambutannya ya baik,” tutur Damen.

Di Ponpes Nurul Huda, Komunitas Sedap Malam memang tidak tampil untuk pertunjukan seni, melainkan bermain bola.

Dengan berdandan layaknya perempuan, para transpuan dari kelompok Sedap Malam berhasil mendapatkan sambutan hangat dari para santri dan tamu undangan di acara Haul tersebut.

Damen mengakui, pemilik Ponpes Nurul Huda yang akrab disapa Abah Syarif, selalu mendukung kegiatan pada transpuan di Sedap Malam.

Abah Syarif juga tidak pernah mendiskriminasi transpuan atau memaksa mereka untuk berubah kembali ke “kodrat”.

“Abah Syarif sangat support, gak pernah memandang perbedaan. Transpuan ya bisa berbaur (di ponpes),” ujar Damen.

Sementara itu, Abah Syarif menjelaskan, ponpes asuhannya memang selalu menerima semua kalangan, termasuk transpuan, tanpa mendiskriminasi atau membeda-bedakan.

Ia menekankan bahwa semua manusia adalah makhluk Tuhan yang berhak untuk hidup berdampingan.

“Mereka (transpuan Sedap Malam) sudah biasa ke sini. Saya tidak membenarkan, tetapi juga tidak menyalahkan mereka (transpuan). Kami menoleransi, saling menghargai,” ujar Abah Syarif saat berbincang dengan Kompas.com di Ponpes Nurul Huda, Sabtu (17/9/2022) pagi.

Ketika datang ke Ponpes Nurul Huda, tidak jarang para transpuan juga diajak berbincang dengan Abah Syarif. Di sana, mereka dianggap layaknya keluarga.

Terkadang, para transpuan juga meminta saran dan nasihat untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Kendati demikian, Ponpes Nurul Huda tidak pernah memaksa para transpuan untuk kembali ke kodrat mereka.

Abah Syarif pun tidak pernah memaksa para transpuan untuk mengikuti pengajian atau kegiatan keagamaan di Ponpes Nurul Huda.

“Terkadang ada yang ikut pengajian, tapi saya enggak pernah mengajak,” kata Abah Syarif.

Hal senada diungkapkan istri Abah Syarif, Umi Nana, yang menceritakan bahwa para transpuan sudah dianggap seperti keluarga di Ponpes Nurul Huda.

“Terkadang mereka juga curhat tentang kehidupan, bagaimana cara mendapatkan rezeki yang halal, dan sebagainya,” tutur Umi Nana.

Umi Nana menjelaskan bahwa para santri yang belajar di Ponpes Nurul Huda pun tidak pernah memandang transpuan secara berbeda.

Di sana, para transpuan dipandang sebagai sesama manusia yang harus dihargai sebagaimana manusia lainnya.

Salah seorang pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Sragen yang juga menjadi Dewan Penasihat Guru di Ponpes Nurul Huda, Siti Afiyah Ismi atau akrab disapa Wiwik, menyebut, para transpuan memang belum bisa diterima secara utuh dalam kehidupan beragama masyarakat Sragen.

Baca juga: Kisah Cinta Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip

 

Transpuan tidak dipungkiri masih kerap dipandang sebagai “liyan” oleh masyarakat.

Namun, di Ponpes Nurul Huda, mereka tidak lagi dipangdang sebagai "liyan", melainkan sesama manusia.

“Sepertinya hanya di sini (Ponpes Nurul Huda), mereka sudah dianggap biasa, tidak berbeda,” kata Wiwik.

Terlepas dari apa pun pilihan gender dan jalan hidup yang ditempuh para transpuan, mereka tetaplah manusia yang berhak meyakini Tuhan serta beribadah sesuai dengan agama mereka.

Komunitas Sedap Malam telah membuktikan bahwa para transpuan mampu berkarya dan berdaya.

Mereka juga tetap teguh memeluk keyakinannya masing-masing tanpa takut terdiskriminasi oleh masyarakat sekitar.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com