KI Hadjar Dewantara adalah pendiri bangsa yang secara khusus menulis buku berjudul Pantjasila, terbit pada tahun 1950 (Jogjakarta: NV Usaha Penerbitan Patjinan 9).
Ki Hadjar merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) meskipun bukan anggota Panitia Sembilan perumus Pancasila.
Hanya saja Ki Hadjar merupakan tokoh pertama yang menyetujui pidato 1 Juni 1945 Soekarno. Persetujuan ini diinformasikan sendiri oleh Soekarno dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1965.
Buku Pantjasila setebal 33 halaman itu merupakan buah renungan Ki Hadjar Dewantara terhadap Pancasila, dengan pendekatan yang khas, yang beliau sebut dengan “irama”.
Sebagaimana sebuah lagu, irama membuat “isi dan bentuk” Pancasila menjadi “terdengar” berbeda, dengan irama-irama lain. Irama oleh karenanya merupakan cara membaca yang khas, yang dikembangkan oleh Ki Hadjar untuk membaca Pancasila melalui cara pandang tersendiri.
Baca juga: Hardiknas 2022: Siswa, Kenali Sisi Lain Ki Hadjar Dewantara
Banyak tokoh telah mengembangkan irama tersendiri dalam “mendendangkan” Pancasila. Soekarno sebagai penggali Pancasila menjadikan sila kebangsaan Indonesia sebagai nada utama bagi irama Pancasila.
Sila kebangsaan itu lalu diramu dengan prinsip kesejahteraan sosial yang menyifati, baik nasionalisme maupun demokrasi, sehingga melahirkan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sebuah bangunan kebangsaan dan demokrasi yang mengarahkan cita utamanya bagi terbangunnya struktur sosial berkeadilan.
Bung Hatta juga memiliki irama tersendiri dalam membaca Pancasila. Bagi Hatta, nada tertinggi dalam Pancasila ialah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Nada ketuhanan ini yang melantunkan sila-sila lainnya, sebagai “kelanjutan dari ketuhanan dengan perbuatan dalam praktik hidup”.
Di tangan Bung Hatta, irama Pancasila terdengar religius, membuahkan penghayatan transenden terhadap dasar negara.
Demikian pula Ki Hadjar Dewantara. Hanya saja berlainan dengan dua karib pendiri bangsa tersebut, Ki Hadjar menjadikan sila kemanusiaan sebagai “nada tertinggi” dari Pancasila. Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar dasar negara dan ideologi bangsa, melainkan keluruhan hidup manusia, yang berkeadaban dan berkeadilan.
Bagi Ki Hadjar, sila kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial merupakan karakter kemuliaan manusia, sehingga ketika seseorang ingin menjadi manusia paripurna, ia harus nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial.
Dalam kaitan ini, Ki Hadjar lalu menempatkan sila ketuhanan di atas sila-sila kemanusiaan tersebut. Sebab menurut Ki Hadjar, ketuhanan merupakan “cahaya dan air” yang menerangi, menghidupkan, dan menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.
Pembacaan Ki Hadjar terhadap Pancasila yang melahirkan konsep tentang irama itu sangat penting kita pahami, di tengah kegersangan dalam cara membaca Pancasila.
Sebelum menulis soal irama Pancasila, terlebih dahulu Ki Hadjar memberikan kesaksian terhadap kelahiran Pancasila. Sebagai anggota BPUPKI yang menyaksikan proses lahirnya dasar negara Pancasila, Ki Hadjar memberikan kesaksian terhadap peran Soekarno sebagai penggali, atau jika memakai istilah beliau, pencipta Pancasila.
Oleh karenanya, dalam tulisan tentang Pancasila tersebut, Ki Hadjar mendasarkan pemikiran dan penafsirannya tentang Pancasila berdasarkan gagasan Sukarno.
Baca juga: Makna Pancasila sebagai Ideologi Terbuka