KOMPAS.com - Tragedi Semanggi I merupakan bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 11-13 November 1998.
Tragedi Semanggi merujuk pada dua aksi protes masyarakat dan mahasiswa terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Aksi tersebut mengakibatkan 17 warga sipil tewas setelah terlibat bentrokan dengan aparat.
Namun, hingga lebih dari dua dekade kemudian, upaya penyelesaian kasus Tragedi Semanggi I guna memberi keadilan bagi korban dan keluarganya belum juga menemui titik terang.
Baca juga: Gerakan Mahasiswa 1998
Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden RI.
Setelah itu, Indonesia mengalami trasisi pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden BJ Habibie, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.
BJ Habibie pun mengumumkan susunan Kabinet Reformasi di tengah gejolak masyarakat yang mengawal proses transisi pemerintahan.
Mahasiswa dan masyarakat bergejolak kembali karena tidak menginginkan BJ Habibie dan para anggota DPR/MPR saat itu, yang dinilai sebagai kepanjangan tangan Orde Baru.
Mereka mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Pada November 1998, pemerintahan transisi Indonesia dijadwalkan mengadakan Sidang Istimewa (SI) MPR untuk membahas mengenai pemilihan umum (pemilu) berikutnya dan agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa dan masyarakat gencar melakukan demonstrasi memenuhi jalan-jalan Jakarta untuk menolak SI MPR 1998.
Aksi penolakan terhadap SI MPR 1998 berujung pada peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.
Baca juga: Hafidin Royan, Pahlawan Reformasi 1998
Demonstrasi untuk menolak SI MPR 1998 berlangsung pada 11-13 November 1998.
Pada 11 November, mahasiswa dan masyarakat bergerak dari Jalan Salemba.
Mereka terlibat bentrok dengan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa atau Pam Swakarsa (kelompok sipil bersenjata yang dibentuk TNI) di Kompleks Tugu Proklamasi.
Pada 12 November, ratusan demonstran bergerak menuju Gedung DPR/MPR, tetapi tidak berhasil menembus penjagaan tantara, Brimob, dan Pam Swakarsa.
Saat itu, sebanyak 30.000 warga sipil juga direkrut oleh tentara dan dimobilisasi di sekitar gedung parlemen.
Demonstrasi yang berlangsung hingga malam hari mengakibatkan bentrokan di daerah Slipi dan Jalan Sudirman.
Akibatnya puluhan mahasiswa yang mengalami luka dibawa ke rumah sakit, sementara ribuan lainnya dievakuasi ke Universitas Atma Jaya.
Baca juga: Peran Mahasiswa dalam Peristiwa Reformasi 1998
Puncak demonstrasi yang berujung pada Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998.
Hari itu, masyarakat dan mahasiswa dari berbagai wilayah yang diperkirakan berjumlah puluhan ribu, melebur di area Semanggi dan sekitarnya.
Jumlah aparat pun semakin banyak, yang mengepung para demonstran dari dua arah di sepanjang Jalan Sudirman dengan kendaraan lapis baja.
Menjelang sore hari, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa, yang membuat sebagian masyarakat melarikan diri.
Namun, mahasiswa tetap bertahan. Banyak dari mereka yang duduk di jalan, tetapi direspons dengan tembakan membabi-buta oleh aparat, yang mengakibatkkan korban berjatuhan.
Kerusuhan yang disertai tembakan aparat berlangsung sejak pukul 3 sore hingga dini hari.
Tragedi Semanggi I mengakibatkan 17 warga sipil tewas setelah terlibat bentrokan dengan aparat.
Dari data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 17 korban tersebut terdiri dari enam mahasiswa, dua pelajar SMA, dua anggota Polri, satu satpam, empat anggota Pam Swakarsa, dan tiga warga sipil.
Baca juga: 6 Agenda Reformasi 1998
Di samping itu, sebanyak 456 orang mengalami luka, yang sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras.
Korban luka terdiri atas mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan, dan warga sipil dari berbagai usia.
Berikut daftar korban Tragedi Semanggi I yang tewas selama demonstrasi.
Baca juga: Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Belum Terselesaikan
Pada 2001, Panitia Khusus (Pansus) DPR RI dalam Rapat Badan Musyawarah DPR RI menyatakan peristiwa Semanggi I tidak termasuk pelanggaran HAM berat.
Pernyataan itu menimbulkan kontroversi dan selama bertahun-tahun, Tragedi Semanggi I masih terus dituntut penyelesaiannya.
Dalam forum Rapat Kerja DPR pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung Burhanuddin juga mengatakan peristiwa Semanggi I bukan merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga kasus tidak perlu dilanjutkan.
Berbeda dengan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan peristiwa Semanggi I dan II merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi fokus untuk diselesaikan pemerintah.
Pernyataan Burhanuddin membuat sejumlah pihak kecewa, hingga keluarga korban, termasuk ibu Wawan, yaitu Maria Katarina Sumarsi,h lantas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Baca juga: Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM
PTUN menilai bahwa pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan memutuskan bahwa Burhanuddin telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Namun, Kejaksaan Agung mengajukan banding hingga tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA), dan berhasil memenangkan Burhanuddin.
Hingga kini, lebih dari dua dekade sejak Tragedi Semanggi I, upaya penyelesaian kasus masih gelap.
Referensi:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.