KOMPAS.com - Sanering adalah kebijakan pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga di pasar, sehingga daya beli masyarakat menjadi turun.
Contoh sanering yaitu nilai uang Rp 100.000 dipotong nilainya menjadi Rp 100.
Ketika kebijakan itu diberlakukan, maka jumlah barang yang dibeli dengan uang baru akan lebih sedikit dibandingkan dengan uang lama.
Misalnya, apabila sebelumnya Rp 100.000 bisa digunakan untuk membeli satu baju, maka setelah dilakukan sanering, Rp 100.000 hanya bernilai Rp 100 dan tidak dapat digunakan untuk membeli baju.
Umumnya, tujuan sanering adalah untuk menekan laju inflasi yang semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan dari perdagangan.
Indonesia tercatat pernah memberlakukan kebijakan ini sebanyak tiga kali, yakni pada 1950, 1959, dan 1965.
Baca juga: Sanering, Kebijakan Pengguntingan Nilai Uang
Kondisi perekonomian nasional saat itu dinilai sangat meresahkan, di mana pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sangat rendah, nilai investasi merosot, dan inflasi sangat tinggi menjadikan nilai rupiah anjlok.
Lantas, apa tujuan diberlakukannya kebijakan sanering tersebut dan apa dampaknya bagi masyarakat Indonesia?
Kebijakan sanering di Indonesia pertama kali dilakukan pada 19 Maret 1950, setelah situasi perekonomian terpuruk akibat utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melonjak tajam.
Pemerintah kemudian melakukan sanering, yang dikenal dengan sebutan kebijakan Gunting Syafruddin, di mana uang kertas yang dilainya Rp 5 ke atas nominalnya dipotong 50 persen.
Kebijakan sanering 1950 berhasil mengisi kas pemerintah yang kosong setelah kemerdekaan dan menurunkan harga akibat inflasi.
Baca juga: Syafruddin Prawiranegara: Biografi, Kebijakan, dan Pemberontakan
Namun, selain dampak positif, pemberlakukan sanering pada 1950 juga mendatangkan dampak negatif.
Pasalnya, kebijakan sanering 1950 dirasa kurang tepat karena menyebabkan terjadinya tindakan sanering berikutnya yang semakin menyebabkan masyarakat menderita.
Seperti diketahui, dengan penerapan sanering maka uang yang dipegang masyarakat secara otomatis nilainya berkurang drastis.
Sanering pada 1950 juga cenderung dilakukan untuk kepentingan pemerintah semata, yakni untuk mengatasi utang pemerintah yang menumpuk tanpa memikirkan kesulitan rakyat akibat pemotongan nilai rupiah.