KOMPAS.com - Syaikh Muhammad Amin Al Husaini adalah Mufti Agung Yerusalem antara 1921-1937 di bawah otoritas politik Mandat Britania atas Palestina.
Ia berperan besar dalam gerakan anti-Yahudi sekaligus anti-Zionis (pendudukan Israel di Palestina).
Untuk mendukung gerakannya itu, Syaikh Muhammad Amin Al Husaini sempat membentuk aliansi dengan Blok Poros (Nazi Jerman dan Italia) selama Perang Dunia II.
Sosoknya pun menjadi kontroversial hingga pernah ditahan oleh otoritas Perancis.
Terlepas dari itu, Syaikh Muhammad Amin Al Husaini tercatat mempunyai peran penting dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Syekh Junaid Al-Batawi, Imam Indonesia Pertama di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad Amin Al Husaini lahir pada sekitar 1897 di Yerusalem, yang masih dikuasai Kekaisaran Turki Ottoman.
Ia adalah putra dari Tahir Al Husaini, seorang mufti (ulama yang berwenang mengeluarkan fatwa) di Yerusalem sekaligus penentang awal pendudukan Israel di Palestina.
Amin Al Husaini berasal dari keluarga berpengaruh, di mana anggota klan-nya banyak yang menjadi tuan tanah atau menduduki jabatan mufti dan Wali Kota Yerusalem.
Di Yerusalem, ia menempuh pendidikan di sekolah Al Quran, kemudian sekolah menengah Pemerintah Utsmaniyah.
Amin Al Husaini juga pernah belajar di sekolah menengah Katolik yang dijalankan oleh misionaris Perancis bernama Freres dan di Alliance Israelite Universelle yang dijalankan oleh seorang Yahudi.
Pada 1912, perjalanan pendidikannya berlanjut ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan Dar al-Da'wa wa-l-Irshad, di bawah seorang ulama Salafi bernama Rashid Rida, yang kemudian menjadi mentornya.
Sebelum meletus Perang Dunia I, ia mengenyam pendidikan di Sekolah Administrasi di Konstantinopel (sekarang Istanbul, Turki).
Baca juga: Syekh Nawawi al-Bantani, Ulama Banten yang Mendunia
Ketika pecah Perang Dunia I pada 1914, Syaikh Muhammad Amin Al Husaini bergabung dalam Angkatan Darat Ottoman yang ditempatkan di Kota Izmir, Turki.
Pada November 1916, ia kembali ke Yerusalem akibat mengalami cedera saat berperang.
Cederanya pulih seiring dengan pengambilalihan Palestina oleh Inggris dari Kekaisaran Turki Ottoman.