Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat, Presiden Indonesia yang Kerap Terlupa

Kompas.com - 05/07/2022, 14:00 WIB
Tri Indriawati

Penulis

KOMPAS.com - Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat adalah dua tokoh politik yang pernah memegang jabatan presiden Indonesia, tetapi nama mereka sering kali terlupakan.

Dalam daftar presiden Indonesia, barangkali kita hanya mengetahui tujuh nama tokoh politik yang pernah memegang kekuasaan tertinggi, yakni Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.

Akan tetapi, Indonesia sejatinya memiliki dua tokoh politik lain yang pernah memimpin negara saat sedang dalam keadaan darurat akibat agresi militer Belanda.

Mereka adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat yang sama-sama berjasa dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan Republik Indonesia di masa darurat.

Baca juga: Hubungan Indonesia-Rusia Masa Kini: Dari Era Habibie hingga Jokowi

Jejak Sjafruddin Prawiranegara, Sang Pemimpin PDRI

Belanda melancarkan agresi militer kedua pada Desember 1948 ke Yogyakarta yang merupakan ibu kota Indonesia saat itu.

Serangan Belanda itu juga berujung pada penangkapan Sukarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya.

Dengan jatuhnya ibu kota ke tangan Belanda, Sukarno dan Hatta pun membuat langkah strategis untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia (RI).

Sesaat setelah agresi militer Belanda II dilancarkan, Sukarno-Hatta segera mengirim telegram ke Bukittinggi yang berisi pemberian mandat kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.

"Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai seranganja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera," demikian isi telegram yang dikirimkan Sukarno kepada Sjafruddin Prawiranegara.

Telegram dari Sukarno-Hatta itu tidak sampai ke Bukittinggi karena jaringan radio telah dirusak Belanda.

Meski begitu, Sjafruddin Prawiranegara ternyata telah mengambil inisiatif untuk membentuk pemerintah darurat.

Pada 19 Desember 1948, di sebuah rumah di dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, Sjafruddin Prawiranegara menggelar rapat bersama beberapa tokoh lain dan mengusulkan dibentuknya pemerintah darurat demi menyelamatkan RI yang berada dalam bahaya.

Usulan Sjafruddin Prawiranegara pun diterima oleh Gubernur Sumatera kala itu, T.M. Hasan.

Berselang tiga hari kemudian, tepatnya pada 22 Desember 1948, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) resmi dibentuk, dengan Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai ketua sekaligus menteri pertahanan, menteri penerangan, dan menteri luar negeri sementara.

Jabatan Ketua PDRI yang diemban Sjafruddin Prawiranegara sebenarnya setara dengan presiden.

Sebab, kala itu, Sukarno-Hatta sebagai pemimpin Republik Indonesia, telah ditangkap Belanda dan mengakibatkan adanya kekosongan kepala negara.

Langkah cepat yang diambil Sjafruddin Prawiranegara bersama PDRI berhasil membuat Indonesia menghindari kekosongan kepala pemerintahan sehingga tetap memenuhi syarat internasional untuk diakui sebagai negara berdaulat.

Setelah situasi terkendali, Sjafruddin Prawiranegara pun kembali menyerahkan mandat kepada Presiden Sukarno pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta.

Penyerahan mandat dari Sjafruddin Prawiranegara ke Presiden Sukarno itu sekaligus mengakhiri jejak PDRI yang selama delapan bulan berhasil melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara merdeka.

Peran Mr Assaat, Pemangku Jabatan Presiden RI di Masa RIS

RI kembali memiliki presiden sementara setelah dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil perjanjian Konferensi Meja Bunda (KMB).

Setelah agresi militer berakhir, Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian KMB di Den Haag pada 27 Desember 1949.

Baca juga: Pelaksanaan Politik Etis yang Paling Dirasakan dalam Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia

Pernjanjian KMB berisi putusan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RIS yang terdiri dari 16 negara bagian, termasuk Republik Indonesia.

Saat itu, Sukarno ditetapkan sebagai Presiden RIS, sedangkan Hatta menjadi Perdana Menteri RIS.

Sementara itu, kedudukan Presiden RI diisi oleh Mr Assaat yang menjabat selama sekitar sembilan bulan.

Hanya beberapa bulan setelah Konferensi Meja Bundar, tepatnya pada 15 Agustus 1950, RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan meleburnya RIS, usai pula peran Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI.

Meskipun begitu, peran Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI sangatlah penting dalam menjaga kedaulatan negara Indonesia kala itu.

Sebab, jika tidak ada pemimpin pemerintahan RI kala itu, akan ada kekosongan dalam sejarah Indonesia.

Artinya, tanpa pemerintahan Assaat, bisa jadi sejarah RI terputus atau sempat menghilang sebelum akhirnya muncul kembali saat RIS melebur menjadi NKRI.

Keberadaan RI pimpinan Assaat di dalam RIS membuat sejarah Republik Indonesia tidak pernah terputus sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1945 hingga kini.

 

Referensi:

  • Adam, A. W. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Indonesia: Penerbit Buku Kompas.
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com