KOMPAS.com - Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau disingkat TAP MPR merupakan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dan di atas Undang-Undang/PERPU.
Salah satu TAP MPR/MPRS yang masih berlaku adalah TAP MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Ketetapan MPR yang berisi tentang pembubaran PKI dan pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang adalah Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam pasal undang-undang tersebut dijelaskan bahwa TAP MPR atau TAP MPRS yang masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah TAP MPR/TAP MPRS tahun 1960 sampai 2002.
Berikut ini latar belakang dikeluarkannya TAP MPRS XXV Tahun 1966 beserta isi, kontroversi, dan dampak yang menyertainya.
Baca juga: PKI: Asal-usul, Pemilu, Pemberontakan, Tokoh, dan Pembubaran
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto memutuskan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966.
Keputusan tersebut didasarkan hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap para tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S.
Peristiwa G30S adalah upaya penculikan yang menewaskan enam orang jenderal, satu perwira TNI AD, dan beberapa tokoh lainnya.
Gerakan ini mengakibatkan timbulnya gejolak ketidakpuasan rakyat yang menuntut Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura 1966.
Salah satu isi dari Tritura adalah pemerintah membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Untuk menindaklanjuti tuntutan tersebut, pemerintah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966, usai Soeharto mengambil alih kekuasaan lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Keputusan itu kemudian diperkuat melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 yang ditetapkan oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966.
Baca juga: Dampak Dikeluarkannya Supersemar
Isi TAP MPRS XXV/1966
TAP MPRS XXV/1966 tentang "Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme”.
Berikut ini isi dari TAP MPRS XXV/1966.
Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.
Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas,
faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.
Ketentuan-ketentuan di atas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar
negeri Republik Indonesia.
Baca juga: Politik Luar Negeri Indonesia Masa Orde Baru
TAP MPRS XXV/1966 adalah produk kepemimpinan Soeharto yang saat itu memegang Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Setelah TAP MPRS XXV/1966 ditetapkan, muncul beberapa kontroversi mengenai kebijakan ini, berikut di antaranya.
Pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang Umum IV MPRS.
Pidato ini dikenal sebagai Nawaksara. Dalam pidatonya, Soekarno bersikeras tidak ingin membubarkan PKI.
Namun, pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak oleh MPRS.
Sebaliknya, MPRS justru memutuskan untuk memberhentikan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.
Baca juga: Supersemar: Latar Belakang, Isi, dan Tujuan
TAP MPRS XXV/1966 dinilai bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi tiap warga negara Indonesia.
Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia, TAP MPRS XXV/1966 dicabut. Keputusan ini lantas membuat dirinya menuai hujatan dari lawan politiknya.
Alasan Gus Dur mencabut TAP MPRS XXV/1966 adalah karena kebijakan ini berlawanan dengan spirit Pancasila yang tidak tertulis (Bhinneka Tunggal Ika) yang sudah dilaksanakan bangsa Indonesia tujuh abad sebelum proklamasi kemerdekaan.
Kendati demikian, pencabutan ini tidak pernah dianggap resmi sehingga TAP MPRS XXV/1966 masih berlaku.
Baca juga: Sejarah Perumusan UUD 1945
Berlakunya TAP MPRS XXV/1966 terus menimbulkan pro dan kontra dari beberapa pihak hingga memasuki era reformasi.
Kendati demikian, dalam Sidang Paripurana MPR RI yang dipimpin Amien Rais pada 2 Agustus 2003, mayoritas fraksi tetap menolak TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dicabut.
Mayoritas fraksi setuju bahwa PKI harus terus dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia, tetapi penyebaran marxisme dan leninisme sebagai sebuah ideologi tidak boleh dilarang karena merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.
Selain itu, fraksi juga meminta pemerintah untuk memperlakukan keturunan para warga Indonesia yang dulu diduga terlibat PKI secara adil.
Untuk itu, DPR melakukan rekonsiliasi TAP MPRS XXV/1966 yang sudah diatur melalui Ketetapan MPR Nomor I tahun 2003.
Dalam Ketetapan MPR Nomor I tahun 2003 disebutkan bahwa seluruh warga negara, apapun latar belakangnya, memiliki hak yang sama, tidak boleh dibeda-bedakan dan berpegang pada demokrasi.
Baca juga: Bolshevik, Cikal Bakal Partai Komunis Uni Soviet
TAP MPRS XXV/1966 merupakan hukum tertinggi pada masa itu dan berfungsi sebagai mekanisme pengintegrasi dan penyelesaian konflik yang efektif pasca-G30S.
Lewat peraturan ini PKI ditetapkan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.
Setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis pun dilarang.
Peraturan ini memicu penangkapan semua orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI. Mereka diburu dan dibantai karena dianggap bertanggung jawab terhadap terbunuhnya enam jenderal dalam G30S.
Akibatnya, upaya pembersihan sisa-sisa PKI menyebabkan lebih dari tiga juta orang di Indonesia tewas karena dituduh berafiliasi atau menjadi simpatisan PKI.
Hingga saat ini, keluarga penyintas yang pernah dituduh berafiliasi dengan PKI masih mengalami diskriminasi.
Selain itu, akibat TAP MPRS XXV/1966 banyak kelompok masyarakat berpendapat bahwa gerakan Komunisme/Marxisme-Leninisme berbahaya.
Baca juga: Partai Komunis China: Sejarah dan Perkembangannya
Ketika RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) mulai dibahas DPR, muncul isu bahwa TAP MPRS XXV/1996 dicabut.
Pasalnya, RUU tersebut tidak mencantumkan TAP MPRS XXV/1996 sebagai peraturan konsideran.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD memastikan tidak ada pihak yang ingin mencabut TAP MPRS XXV/1996.
Terlebih lagi, TAP MPRS tersebut merupakan produk hukum mengenai peraturan perundang-undangan yang mengikat.
Oleh karena itu, TAP MPRS XXV/1996 tidak bisa dicabut oleh lembaga negara maupun rancangan aturan yang digulirkan oleh DPR itu sendiri.
Selain itu, Mahfud menjelaskan bahwa RUU HIP tidak meniadakan TAP MPRS XXV/1996, tetapi justru menguatkan Pancasila.
Referensi: