KOMPAS.com - Daeng Pamatte merupakan salah satu tokoh yang berjasa pada masa Kerajaan Gowa.
Pasalnya, ketika menjadi pejabat kerajaan, ia menemukan Aksara Lontara, yang menjadi aksara tradisional masyarakat Bugis dan Makassar.
Selain itu, ia juga menghasilkan karya berupa buku. Buku yang ditulis oleh Daeng Pamatte berjudul Lontara Bilang Gowa Tallo.
Baca juga: Sejarah Awal Kerajaan Gowa-Tallo
Daeng Pamatte lahir di Kampung Lakiung, Gowa, pada abad ke-16. Ia dikenal sebagai orang yang pandai, sehingga Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumaparisi Kallonna, menunjuknya untuk menjabat sebagai sabannara'.
Sabannara' merupakan jabatan bagian dari pembaharuan internal kerajaan yang dipelopori oleh sang Raja Gowa.
Sebagai seorang sabannara', Daeng Pamatte bertanggung jawab untuk mengatur perdagangan di pelabuhan dan menjadi perantara antara penguasa Gowa dengan bangsawan lainnya.
Selain itu, ia juga dipercaya untuk menjabat sebagai tumailalang (Menteri Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri).
Sebagai tumailalang, Daeng Pamatte bertanggung jawab untuk menjaga dan mengurus kemakmuran dan pemerintahan Gowa.
Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Gowa-Tallo
Menurut sejarah, Aksara Lontara dibuat pertama kali oleh Daeng Pamatte pada abad ke-16.
Lahirnya Aksara Lontara berawal dari Daeng Pamatte ketika menjadi pejabat Gowa di bawah Karaeng Tumaparisi Kallonna dan diminta untuk menciptakan huruf Makassar.
Hal tersebut dilakukan karena Raja Gowa menyadari bahwa penting bagi para pemerintah kerajaan untuk bisa berkomunikasi secara tulis-menulis.
Selain itu, agar setiap peristiwa yang terjadi di kerajaan juga bisa menjadi catatan sejarah.
Daeng Pamatte pun menerima perintah Karaeng Tumaparisi Kallonna dan segera mengerjakannya.
Setelah beberapa waktu, Pamatte berhasil menciptakan huruf Makassar, yang disebut Aksara Lontara.
Baca juga: Persekutuan Tellumpoccoe, Aliansi untuk Menghadapi Kerajaan Gowa-Tallo
Pada saat itu, Aksara Lontara masih terdiri dari 18 huruf saja. Lontara pertama yang diciptakan oleh Pamatte disebut dengan Lontara Jangang-Jangang (Burung), karena bentuknya yang menyerupai burung.
Kemudian Lontara ciptaannya pun kian berkembang dan berubah seiring berjalannya waktu hingga abad ke-19.
Setelah masuknya Islam ke Makassar, mulai terjadi perubahan bentuk dan jumlah hurufnya juga bertambah dari 18 menjadi 19.
Aksara Lontara mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bugis.
Sebab, Lontara mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi sebagai pedoman hidup dan kehidupan masyarakat Bugis.
Referensi:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.