Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Simpang KKA: Latar Belakang, Kronologi, dan Kontroversi

Kompas.com - 17/11/2021, 08:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada tanggal 3 Mei 1999, terjadi sebuah konflik di Aceh yang disebut nama Tragedi Simpang KKA (Simpang Kraft) atau yang juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh. 

Tragedi Simpang KKA yang terjadi di Kecamatan Dewantara, Aceh, bermula dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI.

Kala itu, aparat TNI menembaki para warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi tanggal 30 April 1999 di Cot Murong, Lhokseumawe. 

Peristiwa tragedi Simpang KKA mengakibatkan 23 orang meninggal dunia dan 30 orang luka-luka. 

Baca juga: Perang Aceh: Penyebab, Tokoh, Jalannya Pertempuran, dan Akhir

Kronologi

Terjadinya tragedi Simpang KKA berawal dari hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudah 001/Pulo Rungkom pada tanggal 30 April 1999. 

Anggota ini diduga menyusup ke acara peringatan 1 Muharam yang sedang diadakan oleh warga Desa Cot Murong. 

Dugaan penyusupan anggota TNI ini diperkuat dengan kesaksian warga yang saat itu sedang mempersiapkan acara ceramah. 

Pasukan Militer Detasemen Rudah menanggapi hilangnya anggota tersebut dengan melakukan operasi pencarian besar-besaran yang melibatkan berbagai satuan, termasuk Brimob. 

Ketika aparat sedang melakukan penyisiran di Desa Cot Murong, mereka menangkap sekitar 20 orang dan melakukan berbagai aksi kekerasan. 

Para korban mengaku dipukul, ditendang, dan diancam oleh aparat. 

Menanggapi laporan tersebut, warga desa pun mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk melakukan negosiasi. 

Setelah proses negosiasi selesai, komandan TNI berjanji bahwa aksi kekerasan ini tidak akan terulang lagi.

Namun, pada kenyataannya, janji tersebut tidak mereka tepati. 

Tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara memasuki Desa Cot Murong dan Lancang Barat, tetapi diusir oleh warga setempat. 

Baca juga: Gerakan Aceh Merdeka: Latar Belakang, Perkembangan, dan Penyelesaian

Kedatangan tentara ke Desa Cot Murong lantas membuat warga setempat merasa marah, karena janji mereka tidak ditepati. 

Alhasil, warga Desa Cot Murong melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut janji yang diberikan komandan TNI. 

Pada siang hari, para pengunjuk rasa berhenti di persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh, yang tempatnya berdekatan dengan markas Korem 011. 

Warga kemudian mengirimkan lima perwakilannya untuk berdiskusi bersama dengan komandan. 

Sewaktu diskusi sedang berlangsung, tiba-tiba jumlah tentara yang mengepung warga semakin banyak. 

Warga pun mulai melempari batu ke markas Korem 011 dan membakar dua sepeda motor di sana. 

Setelah itu, dua truk tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) yang dijaga oleh Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang.

Mereka mulai menembaki kerumunan para pengunjuk rasa. 

Dari peristiwa ini sedikitnya 46 warga sipil meninggal, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang. 

Tujuh dari korban tewas diidentifikasi masih anak-anak.

Baca juga: Komnas HAM: Fungsi dan Tujuannya

Tanggapan Koalisi HAM Aceh

Menanggapi peristiwa Tragedi Simpang KKA, Menteri Pertahanan Wiranto mengatakan bahwa tidak logis jika aparat negara menindas rakyat Aceh, karena mereka dikirim untuk melindungi rakyat. 

Pihak militer yang terlibat juga mengklaim mereka menggunakan peluru karet sebagai bentuk pertahanan diri, karena warga melempari markas dengan batu. 

Meski begitu, sejumlah dokter di rumah sakit mengaku menemukan peluru timah di 38 jenazah dan 115 korban luka. 

Pada tahun 2000, dilakukan penyelidikan lebih lanjut oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang dibentuk melalui Keppres Nomor 88/1999. 

Setelah dilakukan penyelidikan, komisi independen menyatakan sebanyak 39 warga sipil tewas, termasuk seorang anak berusia tujuh tahun, 156 mengalami luka tembak, dan 10 warga sipil dinyatakan hilang. 

 

Referensi: 

  • Miller, Michelle Ann. (2008). Rebellion and Reform in Indonesia: Jakarta's Security and Autonomy Policies in Aceh. London: Routledge. 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com