KOMPAS.com - Praktek perploncoan di Indonesia sudah ada sejak dulu kala bahkan menjadi bagian dari budaya zaman kolonoial Belanda.
Dalam bahasa Belanda plonco berasal dari kata ontgroening. Kata groen memiliki arti hijau. Hijau dalam istilah ontgroening memiliki makna murid baru.
Maka, maksud dari ontgroening adalah memberi perlakuan khusus bagi murid baru dalam waktu singkat agar menjadi dewasa dan kenal dengan lingkungan.
Baca juga: Ini 5 Fakta Viral Plonco Mahasiswa Baru di Universitas Khairun
Salah satu sekolah yang melakukan perploncoan adalah STOVIA. STOVIA merupakan sekolah asrama khusus dokter bumiputera yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Mohammad Roem yang saat itu sedang belajar di STOVIA pada tahun 1924 mengalami perploncoan.
Baca juga: STOVIA, Sekolah Kedokteran yang Melahirkan Tokoh Pergerakan Nasional
Roem mengakui bahwa di STOVIA perploncoan sudah dilakukan sejak lama. Namun, dalam perjalanannya perploncoan itu diawasi dengan ketat sehingga tidak ada kejadian yang melampaui batas.
Roem mengatakan bahwa di STOVIA perploncoan berlangsung selama tiga bulan lamanya. Dalam pelaksanaannya, perploncoan sangat dibatasi waktunya.
Perploncoan tidak boleh dilakukan saat waktu belajar dan istirahat. Kegiatan itu dilakukan di waktu lain di luar waktu istirahat dan belajar.
Salah satu materi dalam perploncoan adalah terkait latar belakang daerah asal setiap murid. Dari situ akan ditanyakan secara mendalam apapun yang terkait daerah asal murid.
Reoem menjelaskan bahwa perploncoan di balik tembok asrama STOVIA tidak boleh menggunduli kepala pelajar. Selain itu, kegiatan tersebut dilakukan hanya di dalam lingkungan sekolah.
Baca juga: Perjanjian Roem-Royen: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya
Memasuki era penjajahan Jepang, baru mulai dilakukan praktek penggundulan di dalam Ika Daigaku atau sekolah kedokteran.
Pada masa Jepang inilah baru digunakan istilah plonco untuk menggantikan ontgroening karena sikap Jepang yang anti Belanda saat itu.
Kata plonco berarti kepala gundul. Hanya anak kecil yang memiliki kepala gundul pada waktu itu.
Sehingga anak kecil yang gundul perlu diberi pengetahuan dan petunjuk untuk masa depannya.
Penggundulan ini menjadi salah satu obsesi militer Jepang saat itu yang identik dengan kepala gundul. Selain itu, standar kepala laki-laki Jepang pada waktu itu memanglah harus gundul.