KOMPAS.com - Perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi agresi Belanda mendapatkan simpati internasional, terutama negara-negara Asia dan Afrika yang pernah menjadi korban imperialisme.
Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah diselenggarakannya Konferensi Asia di New Delhi yang diprakarsai oleh Burma (Myanmar) dan India.
Konferensi Asia di New Delhi dilaksanakan pada tanggal 20-23 Januari 1949, dengan dihadiri sejumlah negara Asia, Afrika, dan Australia.
Lantas, mengapa Konferensi Asia di New Delhi dilakukan dan bagaimana hasilnya?
Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948, dunia internasional langsung mengecam tindakan tersebut.
Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Burma U Aung San kemudian memprakarsai Konferensi Asia yang bertempat di New Delhi, India.
Konferensi tersebut dihadiri oleh wakil dari negara Afghanistan, Australia, Burma, Sri Lanka, Mesir, Ethiopia, India, Iran, Irak, Libanon, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah, dan Yaman, sebagai peserta.
Kemudian ada wakil dari negara China, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai sebagai peninjau.
Sementara delegasi Indonesia dalam Konferensi Asia di New Delhi terdiri atas Mr. A. A. Maramis (Menteri Luar Negeri PDRI), Mr. Utoyo (Wakil Indonesia di Singapura), Dr. Sudarsono (Wakil Indonesia di India), dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo (Wakil Dagang Indonesia di Amerika Serikat).
Baca juga: Agresi Militer Belanda II
Pada 23 Januari 1949, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru menyampaikan tuntutan atas nama Konferensi Asia di New Delhi.
Isi tuntutan yang dialamatkan kepada PBB tersebut adalah sebagai berikut.
Keesokan harinya, Dewan Keamanan PBB langsung melakukan sidang untuk membahas tuntutan tersebut.
Kemudian dalam pertemuan pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi kepada Belanda dan Indonesia yang berisi sebagai berikut.
Setelah UNCI terbentuk, pihak Indonesia dan Belanda akhirnya bersedia berunding kembali di Jakarta pada 17 April 1949.
Referensi: