Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Lombok: Penyebab, Kronologi, dan Intervensi Belanda

Kompas.com - 26/08/2021, 08:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada akhir abad ke-19, kedaulatan politik Kerajaan Mataram yang terletak di Pulau Lombok, berakhir.

Kedaulatan itu runtuh akibat campur tangan Belanda dalam Perang Lombok yang berlangsung antara 1891-1894.

Perang ini berawal dari sebuah pemberontakan masyarakat Sasak dari Desa Praya terhadap Kerajaan Mataram.

Masyarakat Sasak nekat memberontak karena ketidakpuasan mereka terhadap pola kebijakan politik yang diterapkan oleh raja mataram, Anak Agung Made Karangasem.

Namun karena terdesak, orang-orang Sasak meminta bantuan kepada Belanda, yang pada akhirnya justru menjadikan Bali dan Lombok terkolonialisasi secara penuh.

Penyebab Perang Lombok

Desa Praya secara geografis terletak paling dekat dengan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di Lombok Barat, yang dikuasai oleh Dinasti Karangasem dari Bali.

Dulunya, masyarakat Sasak di Desa Praya membantu Dinasti Karangasem untuk menguasai Pulau Lombok. Atas jasanya itu, masyarakatnya dibebaskan dari upeti.

Akan tetapi, mereka harus ikut perang apabila diminta oleh kerajaan. Pada masa Ratu Agung Gede Ngurah Karangasem, kebijakan bebas upeti itu berubah.

Selain itu, Ratu Agung Gede Ngurah Karangasem juga mengangkat putranya, Anak Agung Made Karangasem, yang lahir dari seorang selir, sebagai pendampingnya.

Pada 22 Juni 1891, Kerajaan Mataram mengeluarkan perintah bagi Desa Praya untuk berperang membantu Kerajaan Karangasem sekaligus menyediakan kebutuhan pangan para prajurit.

Perintah tersebut tentu saja menimbulkan keresahan bagi Suku Sasak. Terlebih lagi, Kerajaan Mataram kerap mengambil tindakan yang dipandang tidak adil dan sewenang-wenang.

Seperti contohnya merampas tanah dan hewan peliharaan, pemecatan pejabat lokal, hingga mengambil anak-anak untuk dijadikan budak.

Hal-hal itulah yang menjadi latar belakang Perang Lombok yang dimulai pada 1891.

Baca juga: Perang Aceh: Penyebab, Tokoh, Jalannya Pertempuran, dan Akhir

Jalannya pemberontakan

Pada Agustus 1891, raja Mataram memerintahkan masyarakat Desa Praya mengirimkan pasukan ke Bali untuk kedua kalinya.

Akan tetapi, perintah itu tidak ditaati, sehingga raja mengirim pasukan untuk menangkap tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas pembangkangan itu.

Tindakan raja ini semakin menimbulkan keguncangan di Suku Sasak. Alhasil, Guru Bangkol menyerukan panggilan kepada masyarakat untuk melawan kesewenang-wenangan raja.

Pada 7 Agustus 1891, ratusan penduduk Sasak menyerang dan membakar rumah-rumah milik penguasa Bali di Lombok.

Raja merespon pemberontakan dengan mengerahkan sekitar 3.000 pasukan dari Lombok Barat dan 6.000 pasukan dari Lombok Timur.

Meski dikepung dengan ribuan pasukan, Desa Praya ternyata masih mampu mengimbangi kekuatan kerajaan.

Perang pun berlangsung hingga tiga tahun kemudian. Namun, keadaan segera berubah ketika kekuatan kolonial Belanda ikut campur.

Intervensi Belanda

Kekuasaan Mataram dan Pulau Lombok telah lama menjadi incaran Belanda. Ketika perlawanan Sasak semakin meluas, kesempatan untuk ikut campur pun terbuka lebar.

Terlebih lagi, penduduk Sasak telah melayangkan surat permohonan bantuan kepada Belanda sejak 1891.

Pada 1892, Belanda mulai terlibat Perang Lombok dengan memblokade pasokan persenjataan untuk kerajaan.

Namun, langkah ini ternyata tidak cukup untuk menghentikan Mataram. Belanda pun mulai menduga bahwa Kerajaan Mataram tidak lagi mengakui kekuasaannya, seperti yang tertuang dalam perjanjian mereka pada 1843.

Baca juga: Perang Guntung, Pemberontakan Rakyat Siak Melawan Belanda

Ketika surat ultimatum dari Gubernur Jenderal van der Wick agar Mataram menyerah juga tidak digubris, Belanda akhrinya menurunkan ekspedisi berkekuatan ratusan perwira dan ribuan prajurit yang berangkat dengan tiga kapal perang dari Batavia, yaitu Prins Hendrik, Koningin Emma, dan Tromp.

Ekspedisi militer ini dipimpin oleh Mayor Jenderal J.A. Vetter dan Mayor Jenderal Petrus van Ham.

Untuk menghadapi Belanda, strategi perang yang diterapkan Kerajaan Mataram adalah menghindari pertempuran terbuka.

Pasukan kerajaan justru menyergap kamp militer Belanda pada 25 Agustus 1894. Serangan mendadak ini pun berhasil menewaskan 500 orang, termasuk Mayor Jenderal Petrus van Ham.

Meski kehilangan hampir separuh kekuatannya, Belanda tidak langsung membalas dan memilih untuk menunggu bantuan.

Pada 3 September 1894, persenjataan mutrakhir dan pasukan bantuan yang dipimpin oleh Jenderal Sagov dan Kolonel J.J.K. de Moulin akhirnya tiba.

Akhir Perang Lombok

Setelah bantuan mendarat di Lombok, komado pasukan Belanda merancang serbuan sebaik mungkin, mengingat kekalahan mereka pada 25 Agustus.

Perintah untuk menyerang pusat pemerintahan Kerajaan Mataram di Cakranegara baru dikeluarkan pada 18 November 1894.

Dalam serangan ini, Istana Cakranegara hancur dan sebanyak 2.000 prajurit kerajaan diperkirakan tewas, sedangkan Belanda hanya kehilangan 166 orang.

Puncak pertempuran berlangsung pada 22 November 1894, ketika pengikut setia raja melakukan puputan, yaitu bertempur sampai mati.

Setelah perang, Lombok menjadi bagian dari Hindia Belanda dan pemerintahannya dijalankan dari Bali.

Selain itu, kekayaan Lombok yang terdiri atas ratusan kilo emas, ribuan kilo perak, dan karya sastra, juga disita oleh Belanda.

 

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com