Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penembakan Misterius (Petrus): Latar Belakang dan Dampaknya

Kompas.com - 05/08/2021, 12:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penembakan Misterius atau Petrus merupakan kasus yang terjadi antara tahun 1983 hingga 1985 atau pada masa Orde Baru. 

Peristiwa ini termasuk dalam golongan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena telah mengadili seseorang tanpa melalui proses hukum. 

Pelanggaran hak asasi yang dilakukan dalam Petrus adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, dan lain-lain. 

Pada 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas dan 367 tewas karena luka tembak diduga korban penembakan misterius

Kemudian, pada 1984, ada 107 tewas dan pada 1985 sejumlah 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak. 

Baca juga: Abdul Kahar Mudzakkir: Pendidikan dan Perannya

Latar belakang

Pada awal 1980-an, telah banyak ditemukan warga Indonesia yang tewas, bahkan kian tahun terus meningkat. 

Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia, Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, mulanya menyalahkan kasus pembunuhan ini kepada geng. 

Berawal dari situ, tanpa diberitahukan kepada publik, penembakan misterius dilakukan untuk menekan angka kriminalitas. 

Operasi ini rencana akan dilakukan bulan Maret 1983 oleh Komandan Garnisun Yogyakarta, Letkol M Hasbi. 

Namun, setelah berita ini tersebar, beberapa penjahat menyerahkan diri, beberapa ditembak, ada yang melarikan diri, dan yang lainnya berhenti melakukan kejahatan. 

Ternyata, peristiwa Petrus ini membuat angka kejahatan menurun secara signifikan, khususnya tahun 1983. 

Kejahatan kekerasan di Yogyakarta menurun dari 57 menjadi 20 dan Semarang menurun dari 78 menjadi 50. 

Berkat keberhasilan ini, pemerintah terus melanjutkan Petrus. 

Intejilen polisi memberi Komandan Garnisun daftar orang-orang yang termasuk jadi tersangka kejahatan. 

Garnisun kemudian membuat daftar baru dan mengeluarkan ultimatum publik kepada semua galis (preman) untuk segera menyerah ke markas garnisun, tanpa perlu menyebutkan nama. 

Mereka yang merasa preman, harus menandatangani pernyataan setuju menahan diri dari kegiatan kriminal. 

Jika tidak, mereka akan menghadapi tindakan tegas dari pihak berwajib. 

Akan tetapi, karena daftar tersebut penuh dengan misteri, tanpa nama, warga mulai bertanya-tanya apakah mereka termasuk penjahat atau tidak.

Rupanya, hal ini juga merupakan taktik pengawasan diri, agar orang-orang sadar akan tindakan mereka dan berhati-hati dalam bertindak.

Kendati taktik ini berhasil, Soeharto tetap tidak mengakui bahwa aksi pembunuhan dan fakta mengenai Petrus yang sudah terjadi itu dilakukan oleh militer. 

Bagi Soeharto, para pelaku kriminal yang melawan, harus ditembak. 

Namun, setelah terjadi banyak silang pendapat serta mendapat tekanan dari internasional, operasi ini berakhir pada 1985. 

Baca juga: Ki Sarmidi Mangunsarkoro: Kiprah dan Perannya

Dampak

Pada kasus Petrus, tahun 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas dan 367 tewas karena luka tembak.

Kemudian, pada 1984, ada 107 tewas dan pada 1985 sejumlah 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak.

Masalah Petrus pada saat itu memang menjadi berita panas. 

Ada yang mendukung, ada juga yang tidak.

Aksi Petrus dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia, karena telah membunuh seseorang tanpa diadili melalui jalur hukum. 

Amnesti Internasional juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia. 

Pada akhirnya, Petrus diakhiri pada 1985, karena banyak mendapat perdebatan pendapat dan tekanan dari internasional. 

Baca juga: Aitai Karubaba, Pemuda Papua dalam Sumpah Pemuda

Referensi: 

  • Colombij, Freek. (2002). Explainin the Violent Solution in Indonesia. The Brown Journal of World Affairs. 
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com