Kemudian, SM Amin melanjutkan sekolahnya di Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia.
Selama bersekolah di sana, SM Amin menjadi salah satu pendiri organisasi Pemuda Indonesia. Organisasi tersebut yang kemudian menggelar Kongres Pemuda Kedua di Batavia.
Baca juga: Suleiman I, Pembawa Kejayaan Kekaisaran Turki Usmani
Setelah lulus dengan gelar Meester in de Rechten (Magister Hukum), pada 16 Juli 1934, ia memulai kariernya sebagai pengacara di Kutaraja, Aceh.
Tujuh tahun kemudian, pasukan Jepang datang menduduki Aceh. Selama masa pendudukan Jepang ini, SM Amin bekerja sebagai hakim di Sigli.
Setahun setelah menjadi hakim, SM Amin dipindahkan sebagai diresktur Sekolah Menengah Atas Kutaraja.
Selama waktu tersebut, ia menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra).
Kemudian, setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia segera membentuk provinsi dan mengangkat gubernur untuk menjabat di provinsi tersebut.
Provinsi Sumatera sendiri terdiri dari beberapa karesidenan, salah satunya Sumatera Utara.
SM Amin lantas ditunjuk oleh Gubernur Sumatera, Teuku Muhammad Hasan, untuk menjadi Gubernur Muda Sumatera Utara. Ia dilantik pada 14 April 1947.
Baca juga: Mas Isman: Pendidikan, Kiprah, dan Perjuangannya
Suatu waktu, SM Amin mendatangi rumah ibunya di Desa Mandailing, Siantar. Namun, saat ia sampai di sana, rumah sang ibu telah dikepung oleh tentara Belanda.
Akhirnya, SM Amin ditangkap. Ia dibawa ke Medan dan dimasukkan ke dalam tahanan rumah milik seorang pria bernama Yusuf.
Selama menjadi tahanan rumah, SM Amin ikut mengamati persiapan pembentukan Negara Sumatera Timur.
Empat puluh hari kemudian, SM Amin melarikan diri dari rumah tempat ia ditahan. Ia meninggalkan Medan dan pergi ke Penang.
Setelah beberapa hari di Penang, SM Amin kembali ke Aceh.
Pada 17 Januari 1948, ia diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Gubernur Muda Utara.