KOMPAS.com - Reformasi Protestan adalah pergolakan agama, politik, intelektual, dan budaya pada abad ke-16 atas Gereja Katolik yang pada akhirnya melahirkan Protestantisme.
Gerakan ini dipelopori oleh Martin Luther, yang kemudian diikuti oleh John Calvin, Ulrich Zwingli, dan Henry VIII.
Para reformis mengkritik otoritas kepausan dan mempertanyakan berbagai penyalahgunaan dan ketidaksesuaian Gereja Katolik sebagai pusat politik dan budaya Kekristenan di Eropa.
Reformasi Protestan berujung pada perpecahan Gereja Barat menjadi Potestantisme dan Gereja Katolik Roma.
Gerakan ini memicu perang, penganiayaan, dan Gereja Katolik pun menanggapinya dengan gerakan Kontra-Reformasi yang diprakarsai oleh Konsili Trente.
Oleh para sejarawan Eropa, Reformasi Protestan dianggap sebagai salah satu peristiwa yang manandai berakhirnya Abad Pertengahan dan awal dari periode modern.
Sejak abad ke-5 Masehi, Gereja Katolik Roma menjadi pusat kegiatan politik dan budaya Kekristenan di Eropa.
Memasuki periode Renaisans, para pemikir Barat mulai mempertanyakan bahkan menentang otoritas tinggi Gereja Katolik.
Mereka mengkritik doktrin-doktrin yang dianggap palsu dan mengutuk korupsi Gereja Katolik Roma.
Praktik korupsi yang dimaksud adalah jual-beli jabatan rohaniwan serta penjualan indulgensi atau pembayaran untuk pengampunan dosa.
Menurut para reformis, hal tersebut adalah bukti kerusakan sistemik yang harus direformasi.
Baca juga: Zaman Renaisans, Kelahiran Kembali Peradaban dan Kebudayaan Eropa
Sebelum Martin Luther, sebenarnya terdapat banyak tokoh yang telah mencoba mereformasi Gereja Katolik, seperti John Wycliffe, Peter Waldo, dan Jan Hus.
Akan tetapi, para sejarawan menganggap bahwa titik awal dimulainya reformasi adalah ketika Martin Luther memaku selembar kertas yang berisi 95 kritik terhadap otoritas Gereja Katolik.
Aksi ini dilakukan di depan sebuah gereja di Wittenberg, Jerman, pada 31 Oktober 1517.
Saat itu, Martin Luther dikenal sebagai seorang biarawan dan dosen di sebuah universitas di Wittenberg.
Pada 1521, Luther dipanggil ke hadapan Dewan Worms dan secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik.
Tidak hanya itu, Dewan Worms mengutuk aksi Luther dan melarang warga Kekaisaran Romawi Suci untuk membela ataupun menyebarkan gagasan-gagasannya.
Atas perlindungan Frederick III, Luther kemudian menerjemahkan Alkitab dari bahasa latin ke bahasa Jerman.
Alhasil, legitimasi para imam Katolik pun terancam karena orang-orang tidak perlu bergantung padanya untuk menafsirkan Alkitab.
Serangkaian perang antara Gereja Katolik Roma dan reformis Protestan pun pecah antara 1524-1648.
Pada akhir reformasi, Lutheranisme telah menjadi agama di sebagian besar wilayah Jerman, Skandinavia, dan Baltik.
Baca juga: Perang Salib V (1217-1221)
Jerman adalah rumah bagi sebagian besar tokoh reformis Protestan.
Bahkan di setiap negara bagian yang memeluk Protestan memiliki tokoh reformis sendiri.
Bermula pada 1517 di Jerman, gelombang Reformasi Protestan kemudian meluas ke seluruh benua Eropa hingga mencapai puncaknya pada 1545 dan 1620.
Di Swiss, reformasi dimulai pada 1519 setelah khotbah Ulrich Zwingli, yang sebagian besar ajarannya menyerupai ajaran Luther.
Pada 1541, seorang Protestan Prancis bernama John Calvin, yang telah menghabiskan sepuluh tahun sebelumnya di pengasingan dengan menulis doktrin, dipanggil ke Jenewa untuk menyebarkan ajarannya.
Ajaran Calvin pun cepat menyebar ke Skotlandia, Prancis, dan Transylvania, di mana Calvinisme menjadi kekuatan agama dan ekonomi selama 400 tahun berikutnya.
Sementara di Inggris, reformasi dimulai pada 1534, ketika Henry VIII menyatakan dirinya yang akan memegang otoritas akan hal-hal yang berkaitan dengan gereja.
Henry VIII kemudian membubarkan biara-biara Inggris dan membagikan Alkitab kepada rakyatnya.
Setelah kematian Henry VIII, Inggris sempat condong ke Protestantisme yang diresapi Calvinisme juga Katolik.
Pada 1559, Elizabeth I naik takhta dan selama 44 tahun pemerintahannya, gereja Inggris memilih jalan tengah antara Calvinisme dan Katolik.
Baca juga: Perang Salib VI (1228-1229)
Gereja Katolik sebenarnya cukup lambat dalam menanggapi reformasi Martin Luther dan para reformis lainnya.
Konsili Trente, yang mengadakan pertemuan secara terus-menerus antara 1545-1563 akhirnya melahirkan gerakan Kontra-Reformasi.
Untuk menghadapi Protestanisme, Gereja Katolik melakukan banyak upaya, termasuk tumbuh menjadi lebih spiritual, melek huruf, dan berpendidikan.
Seperti contohnya dilakukan oleh kalangan Yesuit, suatu tarekat baru yang terorganisasi, yang menggabungkan spiritualitas dengan intelektualisme yang berpikiran global.
Inkuisisi, baik di Spanyol ataupun Roma, direorganisasi untuk melawan ancaman bidat Protestan.
Konflik keagamaan antara kaum Protestan dan Katolik memuncak pada 1618-1648 atau kemudian dikenal sebagai Perang Tiga Puluh Tahun.
Perang ini kemudian diakhiri dengan perjanjian damai Westfalen, yang berisi dua prinsip utama, yaitu:
Perjanjian ini secara resmi mengakhiri kekuasaan politik kepausan di Eropa.
Meskipun Perang Tiga Puluh Tahun diakhiri dengan Perdamaian Westfalen, Perang Kontra-Reformasi Prancis dan pengusiran orang-orang Protestan di Austria masih berlanjut.
Referensi: