Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Agung Banten: Sejarah, Arsitektur, dan Akulturasi Budaya

Kompas.com - 23/06/2021, 16:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masjid Agung Banten merupakan peninggalan Kerajaan Banten yang berdiri di wilayah Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang.

Masjid bersejarah ini dibangun pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570).

Sultan Maulana Hasanuddin adalah raja pertama Kesultanan Banten yang juga putra dari Sunan Gunung Jati.

Masjid Agung Banten menjadi salah satu bukti kejayaan kota pelabuhan Banten yang masih berdiri hingga saat ini.

Meski keadaannya tidak seperti pada saat didirikan, tetapi kondisinya tetap terpelihara dengan baik.

Setiap harinya, Masjid Agung Banten ramai dikunjungi oleh para peziarah dan wisatawan.

Para pengunjung dapat menikmati peninggalan bersejarah kerajaan Islam di Banten serta melihat keunikan arsitekturnya, yang merupakan bentuk akulturasi budaya Hindu Jawa, Cina, dan Eropa.

Baca juga: Kerajaan Banten: Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan

Sejarah berdirinya Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten pertama kali didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin.

Pembangunan kemudian dilanjutkan oleh putranya, Sultan Maulana Yusuf, yang menjadi raja kedua Kesultanan Banten.

Pada periode ini, Masjid Agung Banten dibangun dengan gaya Jawa.

Sebuah pawestren (ruang untuk shalat wanita), yang berada di samping kemudian ditambahkan pada masa pemeritahan raja ketiga, Sultan Maulana Muhammad (1580-1596).

Sementara serambi selatan masjid lantas diubah menjadi makam yang berisi sekitar 15 kuburan.

Pada 1632, sebuah menara setinggi 24 meter yang dirancang oleh arsitek Cina bernama Cek Ban Cut (Tjek Ban Tjut) ditambahkan ke kompleks masjid.

Sekitar periode yang sama, dibangun pula tiyamah (paviliun) bergaya Eropa yang dirancang oleh Lucaasz Cardeel, orang Belanda yang masuk Islam.

Baca juga: Maulana Hasanuddin, Raja Pertama Kesultanan Banten

Akulturasi pada arsitektur Masjid Agung Banten

Kompleks Masjid Agung Banten terdiri dari bangunan masjid, serambi pemakaman, tiyamah di sisi kanan dan kirinya, menara, serta tempat pemakaman di halaman sisi utara.

Bangunan Masjid berdiri di atas pondasi dengan ketinggian satu meter dan menghadap ke timur.

Bangunan utama masjid memiliki ciri-ciri sebagaimana masjid Jawa kuno lainnya.

Salah satu ciri khususnya adalah terdapat gapura pada keempat arah mata angin.

Sisi menarik lainnya dari bangunan utama masjid adalah atapnya yang tumpuk lima, mirip dengan pagoda Cina.

Bagian ini dirancang oleh Cek Ban Cut, yang juga merancang menara Masjid Agung Banten.

Menara setinggi 24 meter dengan diameter 10 meter ini dapat dimasuki sampai ke atas dengan menaiki 83 tangga yang ada di dalamnya.

Catatan Dirk van Lier dari tahun 1659 menyebut bahwa menara ini dulunya digunakan sebagai tempat mengumandangkan azan dan penyimpanan senjata.

Arsitek lain yang turut berperan memperindah Masjid Agung Banten adalah Lucaasz Cardeel.

Pada masa kekuasaan Sultan Haji, Lucaasz Cardeel mengusulkan pembangunan tiyamah yang berfungsi untuk tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan.

Perpaduan antara budaya Islam dan Eropa pada Masjid Banten ditunjukkan dengan adanya tiyamah atau paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti ini.

Bangunan tiyamah berbentuk segi empat panjang dan bertingkat dua lantai.

Perpaduan unsur Jawa, Eropa, dan Cina menyatu sempurna pada arsitektur Masjid Agung Banten.

Keunikan arsitektur inilah yang akhirnya membedakan Masjid Agung Banten dengan masjid-masjid kuno lainnya.

Baca juga: Masjid-masjid Peninggalan Kerajaan Islam dan Ciri-cirinya

Aktivitas sosial-budaya di Masjid Agung Banten

Terdapat tiga area utama pada kompleks Masjid Agung Banten, yaitu bangunan masjid, tiyamah, dan area pemakaman.

Di masjid ini terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya, seperti makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar.

Sementara pada sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.

Kompleks pemakaman ini memiliki pengaruh paling besar terhadap aktivitas sosial dan budaya.

Hingga saat ini, banyak pengunjung yang hadir dengan tujuan untuk berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanuddin dan keluarganya.

Jadi, pengunjung yang datang tidak hanya jamaah yang hendak menjalankan shalat, tetapi juga bertujuan untuk berziarah.

 

Referensi:

  • Sapuri, Rafy. (2010). Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Multi Kreasi Satudelapan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com