Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Thaha Syaifuddin: Masa Muda, Kepemimpinan, dan Akhir Hidup

Kompas.com - 14/06/2021, 17:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Sumber Kemdikbud

KOMPAS.com - Sultan Thaha Syaifuddin adalah seorang sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. 

Ketika masih berusia 21 tahun, Thaha pernah diutus untuk pergi ke Malaysia, Singapura, dan Patani guna memperkuat hubungan dagang antara Jambi dengan negara-negara tersebut.

Kepergiannya ke ketiga negara tersebut rupanya memicu Thaha untuk memperbaiki serta meningkatkan segi-segi kehidupan rakyat Jambi.

Baca juga: Karel Sadsuitubun (KS Tubun): Peran, Kiprah, dan Pembunuhannya

Masa Muda

Sultan Thaha Syaifuddin dilahirkan di Keraton Tanah Pilih, Jambi, pada 1816. 

Semasa kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat. 

Ayahnya adalah Sultan Muhammad Fakhruddin dikenal sebagai Sultan yang saleh dan berjasa besar terhadap pengembangan agama Islam di Jambi.

Merupakan keturunan bangsawan, Thaha tetap menjadi sosok yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.

Tidak hanya pandai bersosialisasi, Thaha juga dikenal sebagai seorang anak yang cerdas. 

Guna menimba ilmu keagamaan dan pengetahuannya, ia pergi meninggalkan Jambi ke Aceh. 

Di Aceh, Thaha tinggal selama dua tahun. 

Saat hendak kembali ke Jambi, diadakanlah sebuah upacara pelepasan oleh Sultan Aceh yang ditandai dengan pemberian gelar Syaifuddin kepada Thaha. 

Syaifuddin berasal dari bahasa Arab yang berarti Pedang Agama. 

Dengan gelar tersebut, Sultan Aceh berharap agar Sultan Thaha kelah dapat menjadi tokoh yang senantiasa berjuang untuk membela kepentingan agama. 

Baca juga: Cut Meutia: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup

Kepemimpinan

Sejak kecil Thaha sudah memperlihatkan tanda-tanda sebagai seorang pemimpin. 

Ia merupakan sosok yang cerdas, tangkas, pandai bergaul, dan rendah hati. 

Menjelas usia dewasa, mulai terlihat bakat dari Thaha untuk menjadi diplomat. 

Hal ini terbukti, saat berusia 21 tahun, Thaha diutus pergi ke Malaya (Malaysia), Singapura, dan Patani untuk memperkuat hubungan dagang antara Jambi dengan ketiga negara ini. 

Semasa bertugas, muncullah rasa semangat dari Thaha untuk memperbaiki serta meningkatkan segi-segi kehidupan rakyat Jambi.

Sebelum memegang pemerintahan Jambi, Thaha sudah bermimpi untuk memperbaiki kehidupan rakyat, memajukan pendidikan, dan menyebarluaskan agama Islam.

Namun, keinginannya ini tidaklah akan terwujud apabila Belanda masih berada di Jambi. 

Oleh karena itu, Sultan Thaha berusaha mengusir orang-orang Belanda tersebut dari Jambi.

Pada 1841, ayah dari Sultan Thaha meninggal dunia. Sebagai gantinya, Abdulrahman, paman Thaha pun diangkat untuk menduduki posisi ayahnya. 

Bersamaan dengan ini, Sultan Thaha pun diangkat sebagai Pangeran Ratu (Perdana Menteri). 

Menjabat sebagai Pangeran Ratu, Thaha mulai mempunyai kesempatan untuk menggapai cita-citanya.

Ia masih melihat bahwa banyak rakyat Jambi yang saat itu masih minim dalam dunia pendidikan, salah satunya buta huruf. 

Hal ini pun menjadi masalah yang diperhatikan oleh Thaha, sehingga dalam sidang Dewan Menteri pertama ia megeluarkan enam perintah, yaitu:

  1. Seluruh rakyat, baik laki-laki maupun wanita yang berumur Hrna puluh tahun ke bawah diwajibkan tahu membaca dan me·nulis huruf Al-Qur'an atau huruf Arab.
  2. Pertanian dan perkebunan harus diperluas.
  3. Hasil hutan, perternakan dan pertambangan emas supaya diperhatikan dan ditentukan mana yang perlu diekspor dan mana yang akan dipakai di dalam negeri sendiri.
  4. Pembangunan mesjid dan langgar supaya ditingkatkan.
  5. Di setiap dusun agar diangkat seorang hakim atau qadhi.
  6. Hendaknya rakyat selalu mempertebal keimanannya kepada Tuhan supaya f anatik dalam mempertahankan Tanah Air. 

Dari keenam perintah ini maka dapat dilihat bahwa Thaha sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

Pada 1855, Sultan Abdurahman, pamannya meninggal. 

Sultah Thaha pun ditunjuk untuk memegang kekuasaan kesultanan dengan pusat kesultanan Keraton Tanah Pilih.

Saat Sultan Thaha mulai menjabat sebagai Sultan Jambi, perlawanan rakyat terhadap Belanda pun berlangsung dengan sengit.

Belanda pun mengancam akan menangkap dan mengasingkan Thaha ke Batavia.

Namun, ancaman ini sama sekali tidak menggetarkan Sultan Thaha. Justru ia telah menyiapkan pasukan untuk menyerang Belanda.

Pasukan Thaha dipersenjatai dengan pedang, lembing, serta senapan-senapan hasil rampasan dari tentara Belanda.

Setelah ancaman ini tidak berhasi, Belanda mulai mengubah sikap.

Belanda mulai berusaha memilih jalan damai dengan Sultan Thaha. Tetapi, lagi-lagi usahanya mereka gagal.

Sultan Thaha tetap bersikeras tidak ingin terlibat perjanjian apa-apa dengan Belanda.

Baca juga: Basuki Rahmat: Kehidupan, Kiprah, dan Akhir Hidup

Akhir Hidup

Pada 1904, Belanda atas petunjuk Demang Geladak, datang ke tempat persembunyian Thaha di Sungai Aro.

Serangan mendadak dari Belanda ini kemudian membuat Thaha dan pasukannya menyelamatkan diri ke hilir Sungai Aro. 

Saat pasukan Thaha masih dalam perjalanan menuju Batung Barat, tiba-tiba ada salah satu pasukan yang menanyakan keberadaan Sultan Thaha.

Jejak Sultan Thaha pun tidak lagi diketahui oleh rakyat umum. 

Sultan Thaha meninggal pada 26 April 1904. Tubuhnya disemayamkan di Muara Tebo, Jambi.

Atas jasanya, namanya pun dijadikan sebagai nama bandar udara di Jambi.

Referensi:

  • Masjkuri. (1979). Sultan Thaha Syaifuddin. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejaarah Nasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com