KOMPAS.com - Kopral Dua KKO Anumerta Harun Thohir adalah salah satu dari dua anggota KKO Korps Komando Indonesia yang ditangkap di Singapura.
Kala itu, Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia.
Harun menjadi prajurit KKO (Korps Marinir Republik Indonesia) II yang dikirim untuk menyusup ke Singapura.
Ia ditugaskan untuk melakukan sabotase terhadap vital militer atau ekonomi di Singapura.
Karena tindakannya ini, Harun pun harus menjadi salah satu korban yang menerima hukuman gantung oleh Pemerintah Singapura.
Baca juga: Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Abbasiyah
Harun bin Said atau Harun Tohir bin Mandar lahir di Pulau Bawean, Jawa Timur, pada 14 April 1943.
Ia merupakan anak dari pasangan Mandar dan Aswiyani serta memiliki dua saudara.
Berasal dari keluarga sederhana, Harun sudah menjadi anak buah kapal dagang Singapura sejak duduk di bangku sekolah pertama.
Banyak menghabiskan waktu di pelabuhan membuatnya sangat hafal daratan serta jalur pelayaran Singapura.
Dengan pengalaman ini, menginjak dewasa Harun masuk ke Angkatan Laut Indonesia.
Di angkatan laut Indonesia ia tumbuh menjadi seorang prajurit pemberani serta sigap dalam menghadapi pertempuran.
Baca juga: S. Siswomihardjo: Kehidupan, Karier Militer, dan Akhir Hidup
Pada 17 September 1963, Indonesia terlibat konflik dengan Malaysia.
Konflik ini kemudian menyebabkan putusnya hubungan diplomasi serta konflik senjata yang melibatkan tentara nasional.
Harun pun menjadi sukarelawan di Sumbu, Riau, untuk melakukan aksi ke Singapura.
Pada 1 November 1964, Harun mendapat tempaan di Riau selama lima bulan. Lalu, pada 1 April, pangkatnya naik menjadi prajurit KKO II.
Pada Juli 1964, Harun ditugaskan di Tim Brahma I Basis II Operasi A KOTI. Harun juga bergabung dalam Dwikora.
Harun ditugaskan untuk menyusup ke Singapura guna menyabotase objek vital militer atau ekonomi Singapura.
Berbekal wajah seperti orang Cina serta ahli bahasa asing, Harun berhasil menyamar dan masuk ke Singapura tanpa hambatan.
Misinya menyusup ke Singapura ini dilakukan bersama dengan tiga rekan lainnya, yaitu Gani dan Usman.
Misi ini dijalankan pada 8 Maret 1965.
Setelah masuk ke Singapura, Harun bersama kedua rekannya mengamati dan merumuskan target yang cocok untuk dijadikan tempat sabotase.
Ketiga tokoh ini kemudian menempatkan bom seberat 12,5 kg di Baseman Hotel Max Donald di Orchard Road.
Tepat pukul 03.07 pada 10 Maret, bom meledak. Terjadinya pengeboman ini menggegerkan masyarakat dan pemerintah Singapura.
Dengan sigap aparat Singapura berusaha mengusut dan menangkap pelakunya.
Setelah beredar kabar bahwa aparat Singapura tengah menyelidi kasus ini, Harun dan kedua rekannya berpencar guna melarikan diri.
Harun pun berlari bersama Usman menuju ke pelabuhan.
Baca juga: D.I. Pandjaitan: Masa Muda, Karier Militer, dan Akhir Hidup
Pada 13 maret 1965, Harun bersama Usman melarikan diri dengan menggunakan motorboat menuju ke pangkalan militer di Sumbu Riau.
Namun, motorboat yang ia gunakan justru kehabisan bahan bakar.
Akibatnya, Harun dan Usman berhasil ditangkap oleh petugas patroli laut Singapura. Mereka dibawa ke Singapura sebagai tawanan.
Selama tujuh bulan keduanya mendekam di penjara sebelum hukuman resmi dijatuhkan.
Baca juga: KH Mas Mansyur: Keluarga, Pendidikan, Kiprah, dan Akhir Hidup
Pada 4 Oktober 1965, kasus peledakan bom yang dilakukan Harun digelar di Mahkamah Tinggi Singapura.
Saat pengadilan berlangsung, Harun berusaha untuk membela diri.
Harun mengatakan bahwa apa yang ia lakukan merupakan tugas negara yang sedang berperang.
Namun, pengadilan tinggi Singapura menolak pembelaan tersebut.
Dua minggu kemudian, hakim menjatuhkan hukuman gantung kepada Harun dan Usman atas tuduhan pembunuhan terencana dengan aksi sabotase.
Mendengar keputusan ini, pemerintah Indonesia berusaha membujuk Singapura untuk meringankan hukumen mereka.
Pada 5 Oktober 1966, Indonesia mengajukan banding kepada Singapura, tetapi ditolak.
Segala upaya dilakukan agar hukuman mereka dapat diringankan, namun pemerintah Singapura tetap bersikeras menetapkan hukuman mati gantung.
Jenazahnya pun dipulangkan ke tanah air dan disemayamkan pada 18 Oktober 1968 di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Baca juga: Ario Soerjo: Kehidupan, Kiprah, dan Tragedi Pembunuhan
Atas jasanya kepada negara, pangkat Harun dinaikkan menjadi Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said alias Thohir bin Mandar.
Berdasarkan SK Presiden RI No. 050/TK/Tahun 1968, pada 17 Oktober 1968, ia dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional.
Nama Harun juga diabadikan menjadi nama jalan di depan markas Korps Marinir (Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun).
Selain itu, nama Harun juga dijadikan sebagai nama kapal, KRI Usman-Harun, serta Bandar Udara Harun Thohir di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik.
Referensi: