Oleh Jepang, Suprapto ditawan dan dipenjarakan. Tetapi, ia berhasil melarikan diri dari rumah tahanan.
Berhasil kabur, Suprapto pun kembali ke kampung halamannya, Purwokerto. Di sana ia pun mengikuti kursus Cuo Seinen Kunrensyo atau Pusat Latihan Pemuda.
Suprapto merasa tertarik terhadap masalah-masalah sosial, terutama yang berhubungan dengan pemuda.
Dalam kegiatan bidang sosialnya ini, Suprapto berkenalan dengan pemuda Soedirman, seorang pemimpin muda.
Keduanya memiliki pemikiran yang sama tentang bagaimana cara untuk memajukan pemuda.
Suprapto dan Soedirman pun menyumbangkan tenaga mereka di bidang yang sama.
Selain aktif dalam kegiatan sosial, Suprapto juga mengikuti latihan pemuda lain, seperti keibodan, seinendan, dan suisyintai. Ketiga hal itu adalah organisasi bentukan Jepang.
Baca juga: Albertus Soegijapranata: Pendidikan, Kepastoran, dan Akhir Hidupnya
Di awal kemerdekaan, Suprapto merupakan salah satu pejuang yang berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.
Selepas itu, ia pun bergabung menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto.
Karena kemampuannya dinilai cukup baik, Suprapto dipercayai menduduki jabatan sebagai Kepala Bagian II Divisi V dan diberi pangkat kapten.
Divisi V dipimpin oleh Kolonel Soedirman, tokoh yang sudah ia kenal sejak zaman Jepang.
Pada 12 - 15 Desember 1945, terjadi Pertempuran Ambarawa. Dalam perang ini, Suprapto turut mendampingi Komandan Divisi V.
Peristiwa dimulai dengan pertempuran di Magelang, terjadi perebutan benteng Banyubiru. Akhir dari pertempuran ini yaitu jatuhnya benteng Willem I di Ambarawa ke tangan TKR.
TKR berhasil mengungguli pasukan Serikat yang memiliki persenjataan lengkap. Pasukan Serikat dipukul mundur sampai akhirnya mereka melarikan diri ke Semarang.
Baca juga: Perkembangan Bahasa Indonesia sebelum Kemerdekaan
Setelah Pertempuran Ambarawa berakhir, Kolonel Soedirman dilantik oleh pemerintah menjadi Panglima Besar TKR.