Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cipto Mangunkusumo: Pendidikan, Peran, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya

Kompas.com - 11/05/2021, 17:12 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Cipto Mangunkusumo merupakan seorang dokter sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh dari Tiga Serangkai bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara. 

Bersama kedua tokoh tersebut, Cipto banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. 

Cipto Mangunkusumo juga merupakan tokoh dalam Indische Partij, organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri.

Berbeda dengan kedua tokoh lain yang mengambil jalur pendidikan, Cipto Mangunkusumo tetap berjalan di jalur politik. Ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat).

Cipto Mangunkusumo wafat pada 1943 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ambarawa. 

Baca juga: Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker): Kehidupan dan Perjuangan

Pendidikan

Cipto Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di Desa Pecangakan, Jepara, Jawa Tengah. 

Ia merupakan putra tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa.

Cipto Mangunkusumo mengawali kariernya menjadi seorang guru bahasa Melayu di sekolah dasar di Ambarawa.

Ia bersekolah di STOVIA atau Sekolah Kedokteran di Batavia. 

Selama menempuh pendidikan di STOVIA, ia diberi julukan oleh gurunya sebagai Een begaafd leerling atau murid yang berbakat.

Julukan tersebut diberikan pada Cipto karena ia dikenal sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. 

Berbeda dengan teman-temannya, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku, dan bermain catur. 

Baca juga: GSSJ Ratulangi: Pendidikan, Kiprah, dan Akhir Hidupnya

Pertentangan

Pada setiap topik pidatonya, ia mengangkat tentang ketidakpuasan terhadap lingkungan di sekelilingnya. 

Salah satunya ketidakpuasan yang Cipto rasakan yaitu tentang peraturan STOVIA.

Peraturan yang dimaksud seperti mahasiswa Jawa dan Sumatera yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tradisional bila sedang berada di sekolah. 

Menurut Cipto, peraturan tersebut merupakan perwujudan dari politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme.

Kondisi kolonial lain yang juga ditentang oleh Cipto adalah mengenai diskriminasi ras. 

Orang-orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi padahal mereka bekerja dalam satu hal yang sama. 

Baca juga: Jenderal Gatot Subroto: Kehidupan, Karier Militer, dan Perjuangannya

Cipto Mangunkusumo menyampaikan keresahannya melalui tulisan di harian De Locomotief. 

De Locomotief merupakan surat harian kolonial yang sangat berkembang pada waktu itu. 

Tulisannya itu berisikan sebuah kritikan serta pertentangan suatu kondisi masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. 

Cipto seringkali mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. 

Karena tulisan tersebut, Cipto sering mendapatkan teguran serta peringatan dari pemerintah. 

Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga melakukan protes lain dengan bertingkah melawan arus. 

Seperti larangan memasuki societit atau kolam renang bagi warga pribumi tidak ia lakukan. 

Baca juga: KH Zainul Arifin Pohan: Kehidupan, Karir, dan Panglima Hizbullah

Budi Utomo

Cipto Mangunkusumo masuk sebagai anggota dalam Budi Utomo. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com